2
Manajemen Risiko
Risiko merupakan bahaya, maksudnya
risiko adalah acaman atau kemungkinan suatu tindakan atau kejadian yang
menimbulkan dampak yang berlawanan dengan tujuan yang ingin dicapai.[1]
Risiko juga merupakan peluang,
maksudnya risiko adalah sisi yang berlawanan dari peluang untuk mencapai
tujuan. Guna mempertahankan eksistensi kehidupan, maka diperlukan suatu tujuan.
Untuk mencapai tujuan, diperlukan tindakan atau aktivitas. Aktivitas memiliki
risiko jika dampaknya berlawanan. Sebaliknya, aktivitas memberikan peuang untuk
memperoleh hasil yang diinginkan.
Sebagai contoh, untuk bekerja,
terdapat risiko hilangnya waktu senggang, gangguan kesahatan, serta kemungkinan
dipecat. Apakah dengan adanya risiko tersebut seseorang memutuskan untuk tidak bekerja?. Pilihan untuk tidak bekerja
tentu tidak memiliki konsekuensi yang tidak sama dengan pilihan untuk bekerja.
Dengan tidak bekerja, seseorang tidak akan memeperoleh keuntungan financial,
karier, dan prestise. Namun, tidak bekerja belum tentu menghindarkannya
dari risiko hilangnya waktu senggang dan gangguan kesehatan. Bahkan tidak
bekerja dapat menimbulkan risiko tambahan seperti rendah diri dan depresi.[2]
Risiko
merupakan kata yang sudah kita dengan hampir setiap hari. Biasanya kata
tersebut mempunyai konotasi yang negatif, sesuatu yang tidak kita sukai,
sesuatu yang ingi kita hindari. Sebagai contoh, jika kita berjalan keluar
dengan mengunakan mobil, maka ada risiko mobil kita bertabrakan dengan mobil lainnya
(kejadian yang tidak kita inginkan). Jika kita mempunyai saham yang kita pegang
turun nilainya, sehingga tidak memperoleh keuntungan (kejadian yang tidak kita
harapkan).
Risiko merupakan bahaya artinya
risiko adalah ancaman atau kemungkinan suatu tindakan atau kejadian yang
menimbulkan dampak yang berlawanan dengan tujuan yang ingin dicapai.[3]
Risiko didefinisikan sebagai
konsekuensi atas pilihan yang mengandung ketidakpastian yang berpotensi
mengakibatkan hasil yang tidak diharapkan atau dampak negatif lainnya yang
merugikan bagi pengambil keputusan.[4]
Risiko di awali dengan adanya
ketidaksempurnaan informasi atas berbagai aspek dalam proses pengambilan
keputusan dan hasilnya. Sehingga, dikatakan bahwa “risk comes from not
knowing what you are doing” ketidaksempurnaan informasi akan mendatangkan
ketidakpastian. Bahkan, ketidakpastian itu sendiri melekat pada hidup dan
kehidupan kita di dunia. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi esok. Bukan
hanya masalah untung atau rugi di dunia, bahkan kepastian apakah akan masuk
surga sebagai puncak keberuntungan manusia atau masuk neraka sebagai puncak
kerugianpun juga tidak ada yang tahu. Tidak ada jaminan bahwa usaha (ikhtiar)
pasti selalu mendatangkan keuntungan. Pasti ada setelah terjadi. Ketika belum
terjadi, yang ada adalah takdir Allah Swt, hanya Allah Swt semata yang
mengetahui apa yang akan terjadi besok. Setiap manusia harus menyadari bahwa
risiko dan ketidakpastian yang menyebabkan terjadinya risiko adalah bagian dari
rahasia Allah Ta’ala.[5]
Manajemen risiko didefinisikan
sebagai suatu metode logis dan sistematik dalam identifikasi, kuantifikasi,
menentukan sikap, menentukan solusi, serta melakukan monitor dan pelaporan
risiko yang berlangsung pada setiap aktivitas atau proses.
Hubungan antara risiko dan hasil
secara alami berkorelasi secara linier negatif. Semakin tinggi hasil yang
diharapkan, dibutuhkan risiko semakin besar untuk di hadapi. Untuk itu,
diperlukan upaya yang serius agar hubungan tersebut menjadi kabikannya, yaitu
aktivitas yang meningkatkan hasil pada saat risiko menurun. Manajemen risiko
diperlukan untuk:[6]
a.
Mendukung
pencapaian tujuan.
b.
Memungkinkan
untuk melakukan aktifitas yang memberikan peluang yang jauh lebih tinggi dengan
mengambil risiko yang lebih tinggi.
c.
Mengurangi
kemungkinan kesalahan fatal.
d.
Menyadari
bahwa risiko dapat terjadi pada setiap aktivitas dan tingkatan dalam organisasi
sehingga setiap individu harus mengambil dan mengelola risiko masin-masing
sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya.
Manajemen risiko dalam pandangan
Islam adalah risiko sebagai fitrah bisnis. Islam merupakan agama fitrah yang
komplit dan menyeluruh. Oleh karenan itu tidak ada satu pun urusan fitrah
manusia yang luput dari perhatian syariat Islam.
Tidak ada sesuatu pun, dalam urusan
dunia maupun akhirat, kecuali Islam telah menjelaskan perkaranya dalam
Al-Qur’an Surah Al-An’am Ayat 38:
$tBur `ÏB 7p/!#y Îû ÇÚöF{$# wur 9ȵ¯»sÛ çÏÜt Ïmøym$oYpg¿2 HwÎ) íNtBé& Nä3ä9$sVøBr& 4 $¨B $uZôÛ§sù Îû É=»tGÅ3ø9$# `ÏB &äóÓx« 4 ¢OèO 4n<Î) öNÍkÍh5u crç|³øtä ÇÌÑÈ
Artinya:
“Dan Tiadalah binatang-binatang yang
ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan
umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab,
kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.”(Q.S.
Al-An’am Ayat 38)[7]
Dari ayat di atas
dapat dsimpulkan bahwa Islam adalah din dan syariat yang mengatur hubungan
manusia dengan Allah Ta’ala, hubungan manusia dengan pribadinya sendiri,
keluarganya, dan sesama manusia dalam bentuk muamalah (sosial) demi
kemaslahtan hidup mereka. Oleh karena itu, Islam merupakan agama yang lengkap
dan sempurna mengatur segala aspek kehidupan manusia.
Kegiatan
perniagaan (bisnis) merupakan salah satu fitrah dari manusia karena
dengan berniaga manusia dapat memenuhi berbagai keperluannya. Setiap bisnis
berniaga manusia dapat memenuhi berbagai keperluannya. Setiap bisnis yang
dijalankan oleh manusia pasti akan menimbulkan dua konsekuensi di masa depan,
yaitu keuntungan dan kerugian. Keduanya merupakan dua hal yang tidak
terpisahkan dari kegiatan bisnis. Tidak ada satu pun yang bisa menjamin bahwa
bisnis yang dijalankan oleh seseorang akan mengalami keuntungan atau kerugian
di masa depan. Dengan demikian. Risiko itu sendiri merupakan fitrah yang
senantiasa melekat dalam kehidupan manusia. Oleh karenanya, Islam tidak
mengenal adanya transaksi bisnis yang bebas risiko.
Para ulama telah bersepakat bahwa
terdapat dua kaidah penting yang harus diperhatikan dalam menjalankan bisnis
dan setiap transaksi usaha, yaitu kaidah al-kharaj bidh dhaman (pendapat adalah imbalan atas
tanggungan yang diambil) dan ghunmu bil ghurmi (keuntungan
adalah imbalan atas sepian menanggung kerugian).
Kedua kaidah tersebut bersumber dari hadis Nabi SAW yang berbunyi:
عَنْ
عَا ىِٔشَةَ اَنَّ الَنَّبِيَّ صَلَى اللّٰةُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَضَ أَنَّ
الْخَراَجَ بِالضَّمَانَ
Artinya:
“Dari
Aisyah bahwa Nabi Muhammad SAW, bahwasanya penghasilan itu dengan tanggungan”. (H.R Syafi’i,
Ahmad, al-Arba’ah Ibnu Hibban).[8]
Diriwayatkan
oleh abu dawud dari aisyah bahwa seseorang laki-laki membeli budak, dan budak itu tinggal bersamanya pada masa yang
Allah Swt. Kehendaki tinggal bersamanya, sehingga kemudian ia mendapatkan aib pada
budak tersebut, lalu ia memperkarakan hal itu kepada Rasulullah SAW. Dan
Rasulullah pun mengembalikan budak itu kepada penjualnya. ‘’Sang penjual
berkata: “Wahai Rasulullah, budak itu sudah dipergunakan”. Rasulullah
SAW. Bersabda: “Penghasilan itu dengan tanggungan”.
Maksud
dari kedua kaidah tersebut adalah orang yang berhak mendapatkan keuntungan
ialah orang yang punya kewajiban menanggug kerugian. Keuntungan merupakan
kompensasi yang pantas atas kesediaan seseorang menanggung potensi kerugian. Seorang
pedagang berhak mengambil keuntungan atas barang yang dijualnya karena ia telah
menanggung seluruh risiko terkait barang dagangannya (kerusakan barang sebelum terjual,
kehilangan barang dagang, tidak laku, dan lain sebagainya).
Risiko
pembiyaan muncul akibat kegagalan nasabah atau pihak lain dalam memenuhi
labilitas kepada bank syariah sesuai kontrak. Risiko ini disebut juag risiko
gagal bayar (default risk), risiko pembiayaan (financing risk), risiko rating
(downgrading risk), dan risiko penyelesaian (settlement risk).
Termasuk dalam risiko pembiayaan yaitu risiko konsentrasi pembiayaan.
Risiko
konsentrasi timbul akibat terkonsentrasinya penyaluran dana kepada satu pihak
atau sekelompok pihak, industri, sektor, dan/atau area geografis tertentu yang
berpontensi menimbulkan kerugian cukup besar dan dapat mengancam kelangsungan
bisnis bank syariah. Risiko konsentrasi ini terkait dengan strategi
diversifikasi dalam pengelolaan portofolio pembiayaan bank syariah. Ukuran
terkonsentrasinya portofolio bukan hanya pada jumlah debitur yang di biayai.
Namun lebih pada tingkat korelasi di antaranya debitur dalam portofolio
tersebut.[9]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar