A.
PENDAHULUAN
Kajian filsafat pada masa sekarang telah banyak
menyumbangkan pemikiran-pemikiran. Baik pemikiran-pemikiran tersebut dalam
lingkup kajian-kajian lapangan ilmu-ilmu humaniora maupun ilmu-ilmu keislaman.
Bahkan dalam Islam, telah banyak menggunakan metode-metode kajian filsafat yang
dikembangkan oleh Barat. Metode-metode seperti Realisme, Empirisme dan
Fenomenologi telah menjadi dasar berpikir dalam menemukan kebenaran. Begitu
juga metode terbaru yang digunakan yakni metode hermeneutic. Suatu metode
penafsiran dalam epistemologi yang menghadirkan cara baru dalam memahami ilmu
pengetahuan.
Sejauh ini, metode hermeneutika telah banyak mempengaruhi
daya pikir serta kebenaran yang ditemukan. Namun, metode ini masih menjadi
kontroversi, sebab seperti yang telah diketahui bahwa metode hermeneutika
merupakan suatu produk pemkiran Barat dan berdampak negatif dalam pengembangan
ilmu, terutama ilmu-ilmu keislaman.
Hal ini menurut penulis perlu diluruskan, sebab walaupun
berdampak besar dalam pergerakan berpikir yang dilakukan oleh para pemikir,
terutama pemikir-pemikir Islam, namun metode hermeneutika juga mempunyai
sumbangan pemikiran dalam khazanah keilmuan, khususnya ilmu-ilmu Islam.
Berdasarkan kontroversi dan pertentangan yang ada antara para pemikir yang
mendukung penggunaan hermeneutika sebagai metode dalam menemukan dan
mengembangkan ilmu, serta pemikir yang menolak kedudukan metode hermeneutika
dalam kajian ilmu, terutama dalam kajian ilmu-ilmu Islam (khususnya ilmu
Alquran) maka penulis merasa perlu untuk mengenalkan apa dan bagaimana yang
dinamakan epistemologi hermeneutika tersebut yang bertujuan meluruskan
penilaian terhadap metode ini. Mudah-mudahan makalah sederhana ini dapat
menggambarkan pemikiran hermeneutika dalam pikiran pembaca dan dapat memahami
bagaimana kajian-kajian hermeneutika dalam kajian-kajian keislaman.
B.
EPISTEMOLOGI
HERMENEUTIKA
1.
Pengertian
Epistemologi Hermeneutika
Penamaan dari epistemologi hermeneutika terdiri atas dua
kata yakni berasal dari kata epistemologi dan hermeneutika. Kata epistemologi
berasal dari kata Yunani yaitu episteme yang bermakna pengetahuan.[1]
Dalam bahasa Arab, menurut Sirajuddin Zar epistemologi dikenal dengan nama al-Ma’rifat.[2]
Secara terminologi, epistemologi atau dengan nama lain teori pengetahuan adalah
cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan,
pengandaian-pengandaian, dan dasar-dasarnya serta pertanggungjawaban atas
pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.[3]
Adapun hermeneutika, berasal dari bahasa Yunani yakni hermeneuin yang
berarti menafsirkan. Maka dapat dikatakan bahwa hermeneutika berarti tafsir
secara harfiahnya.[4]
Secara istilah, hermeneutika didefinisikan sebuah disiplin ilmu atau metode
yang diperlukan untuk menafsirkan Kitab Suci Bibel. Menurut Danhauer seperti
yang dikutip oleh Inyiak Ridwan Muzir dalam bukunya mengatakan ada dua jenis
ilmu yang paling dasar yaitu logika dan hermeneutika. Peran logika adalah
menentukan kebenaran klaim pengetahuan dengan membuktikan bagaimana pengetahuan
itu diturunkan dari prinsip rasional yang lebih tinggi. Sedangkan untuk
mengerti apa sesungguhnya yang dimaksud oleh seseorang, maka diperlukan
disiplin ilmu lainnya yakni hermeneutika. Disiplin ilmu ini berperan akan
memilah-milah pengertian yang dilekatkan kepada “tanda-tanda” yang seseorang
pakai, tidak peduli apa sesungguhnya yang ada dalam pikiran orang tersebut.[5]
Noeng Muhadjir mengatakan pembacaan hermeneutik berupaya
mencari kebenaran ilmu dengan cara mencari makna dari susunan kalimat, dari
konteks budaya, dari tafsir transendensi, dan lainnya. Konsep teoritiknya
berangkat dari linguistics. Telaah obyeknya bukan menggunakan prinsip
eliminasi obyek menjadi variabel, melainkan menggunakan fokus telaah atau tema
telaah. Heuristik mengadakan pembacaan mencari makna lewat kata-kata kuncinya,
sedangkan hermeneutik mengadakan pembacaan mencari makna dengan berupaya
menangkap seluruh teks bacaan. Kebermaknaan sesuatu (entah fokus, entah tema)
dapat dilandaskan pada narasi bahasa, pada narasi historis, pada hukum, pada
etika, atau pada sebagainya.[6]
Jadi, dapatlah dikatakan bahwa pengertian hermeneutika erat hubungannya dengan
penafsiran teks-teks dari masa lalu dan penjelasan perbuatan pelaku (atau para
pelaku) sejarah.[7]
Beranjak dari teori-teori di atas, maka penulis berpendapat
adapun yang dimaksud dengan epistemologi hermeneutika adalah suatu metode
dengan menafsirkan teks-teks baik yang bersifat keagamaan maupun tidak untuk
menemukan kebenaran pengetahuan. Yang mana penafsiran-penafsiran tersebut tidak
dapat dilepaskan dari unsur-unsur sejarah teks tersebut.
2.
Relevansi
Hermeneutika Terhadap Ilmu Pengetahuan
Istilah teks dan pembaca merupakan bagian struktur tiga
serangkai yang saling terkait dalam teori hermeneutika: pertama, pesan,
berupa teks maupun tanda; kedua, penafsir atau mediator; ketiga, audiens.[8]
Dalam teori hermeneutika, terdapat tiga aktivitas eksistensi manusia, yaitu
memahami (understanding), menjelaskan atau menguraikan makna tersirat
menjadi tersurat, dan menerapkan atau mengaitkan makna suatu teks dengan
situasi baru dan kini. Untu dapat mengaplikasikan teori hermeneutika, Dilthey
mengajukan konsep pemahaman sejarah (historical understanding) yang juga
bisa dipahami sebagai kesaaran sejarah (historical consciousness).
Konsep Dilthey ini, bertujuan untuk mengatasi keterasingan teks dengan sejarah.[9]
Dalam teori hermeneutika, pembaca harus mampu mengisi
pemahamannya dengan keutamaan-keutamaan yang ditemukan dalam pengalaman
hidupnya. Dengan kata lain, pembaca harus mampu mengungkapkan fenomenologi
eksistensi dirinya sendiri. Fenomenologi eksistensi manusia akan selalu
berhubungan dengan makna kehidupan dari semua bentuk sinyal dan simbol, praktek
sosial, kejadian sejarah dan karya seni. Dengan dasar perolehan makna dari
semua sinyal, simbol, praktek sosial, kejadian sejarah dan karya seni, maka
manusia dapat menyusun kembali objective meaning. Teori hermeneutika
berperan penting dalam membantu membongkar suatu ruang lingkup pemikiran yang
tidak terpikirkan menjadi terpikirkan di tengah-tengah upaya memahami objective
meaning.[10]
Kemudian Hans George Gadamer menguraikan penafsiran teks
melalui empat elemen utama, yaitu: 1). Pengaruh kesadaran sejarah; 2). Adanya
pra-pemahaman; 3). Adanya fusi horizon antara horizon teks dan horizon pembaca
yang dia sebut pula dengan lingkaran hermeneutik[11];
4) penerapan tiga unsur tersebut.[12]
Dalam perkembangan pada masa modern sekarang ini, filsafat
hermeneutika teraplikasi dalam enam bentuk yang berbeda, yakni:
a. Hermeneutika sebagai teori eksegesis
Bibel. Pemahaman yang paling awal dan mungkin saja masih tersebar luas dari
kata “hermeneutika” merujuk kepada prinsip-prinsip interpretasi Bibel. Terdapat
justifikasi historis menyangkut aplikasi definisi ini, sebab kata itu memasuki
penggunaan modern sebagai suatu kebutuhan uang muncul dalam buku-buku yang
menginformasikan kaidah-kaidah eksegesis kitab suci (skriptur).
b. Hermeneutika sebagai metodologi
filologis. Perkembangan rasionalisme dan bersamaan dengannya lahir pula
filologis klasik pada abad ke-18 mempunyai pengaruh besar terhadap hermeneutika
Bibel. Berawal dari hal inilah muncul metode kritik historis dalam teologis;
baik mazhab interpretsi Bibel “gramatis” maupun “historis”. Keduanya menegaskan
bahwa metode interpretasi yang diaplikasikan terhadap Bibel juga dapat
diaplikasikan pada buku yang lain.
c. Hermeneutika sebagai ilmu pemahaman
linguistik. Schleiermacher punya distingsi tentang pemahaman kembali
hermeneutika sebagai “ilmu” atau “seni” pemahaman. Karena seluruh bagian
selanjutnya akan dicurahkan kepadanya, maka perlu digarisbawahi di sini bahwa konsepsi
hermeneutika ini mengimplikasikan kritik radikal dari sudut pandang filologi,
karena dia berusaha melebihi konsep hermeneutika sebagai sejumlah kaidah dan
berupaya membuat hermeneutika sistematis-koheren, sebuah ilmu yang
mendeskripsikan kondisi-kondisi pemahaman dalam semua dialog.
d. Hermeneutika sebagai fondasi
metodologi bagi Geisteswissenschaften. Wilhelm Dilthey adalah salah satu
pemikir filsafat besar pada akhir abad ke-19 dan penulis biografi
Schleiermacher. Dia melihat hermeneutikka adalah inti disiplin yang dapat
melayani sebagai fondasi bagi geisteswissenschaften (yaitu semua
disiplin yang memfokuskan kepada pemahaman seni, aksi dan tulisan manusia).
e. Hermeneutika sebagai fenomenologi dasein
dan pemahaman eksistensial. Hermeneutika dalam konteks ini tidak mengacu kepada
ilmu atau kaidah interpretasi teks atau pada metodologi bagi geisteswissenschaften,
tetapi pada penjelasan fenomenologisnya tentang keberadaan manusia itu sendiri.
Analisis Heidegger mengindikasikan bahwa “pemahaman” dan “interpretasi”
merupakan model fondasional keberadaan manusia. Dengan demikian, “hermenutika” dasein
Heidegger melengkapi, khususnya sejauh dia mempresentasikan ontologi pemahaman,
juga dipandang sebagai hermeneutika; penelitiannya adalah hermeneutika baik isi
maupun metode.
f. Hermeneutika sebagai sistem
interpretasi: menemukan makna melawan ikonoklasme. Paul Ricoeur dalam De
I’intretation (1965), mendefinisikan hermeneutika yang mengacu balik pada
fokus eksegesis tekstual sebagai elemen distingtif dan sentral dalam
hermeneutika. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut:
“Yang
kita maksud dengan hermeneutika adalah teori tentang kaidah-kaidah yang menata
sebuah eksegesis, dengan kata lain sebuah interpretasi teks particular atau
kumpulan potensi tanda-tanda keberadaan yang dipandang sebagai sebuah teks”
Psikoanalisa, dan khususnya interpretasi mimpi, merupakan
bentuk yang sangat nyata hermeneutika; unsur-unsur situasi hermeneutis semuanya
terdapat di sana. Mimpi adalah teks, teks yang dipenuhi dengan kesan-kesan
simbolik, dan psikoanalisa menggunakan sistem interpretasi untuk menerjemahkan
penafsiran yang mengarah pada pemunculan makna-makna tersembunyi. Hermeneutika
adalah proses penguraian yang beranjak dari isi dan makna yang nampak ke arah
makna terpendam dan tersembunyi. Objek interpretasi, yaitu teks dalam
pengertian yang luas, bisa berupa simbol dalam mimpi atau bahkan mitos-mitos
dari simbol dalam masyarakat atau sastra.[13]
Menurut Richard E. Palmer, beberapa bidang lain perlu
dieksplorasi mengenai signifikansi bagi teori hermeneutika. Misalnya
linguistic, filsafat bahasa, analisis logika, teori penerjemahan, teori
informasi, dan teori tentang interpretasi lisan (pidato). Penelitian sastra
perlu dijelaskan signifikansinya bagi teori interpretasi, dan fenomenologi
bahasa sangat diperlukan bagi teori hermeneutika. Selain itu, filsafat
interpretasi hukum, sejarah, dan teologis, semuanya melahirkan unsur penting
dalam fenomena interpretasi. Demikian Richard E. Palmer menggambarkan ruang
lingkup hermeneutika.[14]
3. Pembagian Jenis-Jenis Atau
Kelompok Hermeneutika
Seperti yang telah diungkapkan, metode hermeneutika ini
menurut sejarahnya telah digunakan di dalam penelitian teks-teks kuno yang
otoritatif misalnya kitab suci, kemudian diterapkan di dalam teologi dan direfleksikan
secara filosofis, sampai akhirnya menjadi metode dalam ilmu-ilmu sosial.
Kemudian, sejauh hermeneutika merupakan penafsiran teks, maka dia juga
digunakan di dalam bidang yang lain, seperti ilmu sejarah, hukum, sastra, dan
sebagainya.[15]
Hal tersebut juga berhubungan dengan kenyataan bahwa ekspresi manusia yang
memiliki unsur penuh makna yang perlu disadari oleh subyek dan yang diubah
menjadi sistem nilai dan maknanya sendiri telah melahirkan “permasalahan
hermeneutis” yakni sebagai proses itu dapat dilakukan, dan bagaimana mengubah
makna subjektif menjadi makna objektif yang ditempuh melalui subjektivitas
penafsir (interpreter). Ini menjadi permasalahan hermeneutika kontemporer yang
terbagi menjadi beberapa kelompok atau jenis, yaitu:
a.
Hermeneutika
metode. Yakni hermeneutika yang memiliki fokus kajian pada teori umum tentang
interpretasi sebagai metodologi dalam ilmu-ilmu sosial (geisteswissenschaften).
Penggunaan hermeneutika sebagai metode ini ditekankan pada upaya pencapaian
objektivitas. Dalam kategori hermeneutika metode ini adalah hermeneutika model
F. Schleiermacher, Wilhelm Dilthey, dan Emilio Betti.
b.
Hermeneutika
filosofis. Hermeneutika ini tidak bermaksud mencari pengetahuan objektif dengan
menggunakan prosedur metodis, tetapi mencari pengungkapan dan deskripsi
fenomenologis tentang dasein manusia dalam temporalitas dan
historisitasnya. Tujuan “memahami” teks bukan lagi menyadari kembali makna yang
dimaksud pengarang teks, tetapi untuk melahirkan pengetahuan praktis yang
relevan, subjek sendiri yang diubah menjadi sadar terhadap kemungkinan baru
mengenai eksistensi dan tanggung jawab bagi masa depannya sendiri.
c.
Hermeneutika
kritis. Secara umum, Nietzsche merupakan tokoh yang kritis dalam hermeneutik
model ini. Hal ini tercermin dari corak interpretasinya yang kritis dalam
mengkaji berbagai persoalan, termasuk dalam kajian sejarah. Dia
mengklasifikasikan penulisan atau pemahaman sejarah menjadi tiga pendekatan.
Yaitu pertama, pendekatan monumental yang dilakukan dengan memusatkan
perhatian pada kebesaran dan kelangkaan monumental di massa lampau. Kedua,
pendekatan antikuarian ditulis untuk mencari asal usul identitas seseorang atau
kelompok dari masa lampau. Dan yang ketiga pendekatan kritis. Berbeda
dengan dua pendekatan sebelumnya yang cenderung melihat ke masa lampau, cara
melihat masa lampau secara kritis dimaksudkan untuk mendirikan zaman sekarang
dengan jalan memisahkan dari masa lampau.
d.
Hermeneutika
fenomenologi Paul Ricoeur. Hermeneutika jenis ini, menurut Paul Ricoeur terbagi
atas tiga bentuk, yaitu: pertama, konsep mimesis, yaitu konsep
hermeneutika dengan sistem peniruan terhadap apa yang menjadi hasil interpretasi.
Konsep ini terbagi tiga, yaitu prefigurasi (mimesis I), konfigurasi (mimesis
II), dan transfigurasi (mimesis III). Kedua, hermeneutika
teks, dan ketiga hermeneutika tindakan.[16]
C.
PENUTUP
Berdasarkan penjelasan makalah sederhana di atas, maka penulis
secara ringkas merumuskan kesimpulan antara lain sebagai berikut:
1. Secara umum, epistemologi
hermeneutika didefinisikan sebagai salah satu metode dalam mencari dan
mengetahui kebenaran dengan jalan menginterpretasikan (menafsirkan)
simbol-simbol, teks, maupun tanda-tanda lainnya.
2. Dalam hermeneutika, sangat terkait
sekali dengan tiga unsur yang saling mendukung dan terikat antara satu dengan
yang lain, yakni pertama, pesan, berupa teks maupun tanda; kedua,
penafsir atau mediator, yakni orang yang menginterpretasikan tanda atau teks
tersebut; dan ketiga, audiens, yakni para penerima hasil penafsiran atau
interpretasi dari mediator atau penafsir tersebut.
3.
Hermeneutika teraplikasi dalam enam
definisi aplikatif, yaitu:
a.
Hermeneutika sebagai teori eksegesis
Bibel.
b. Hermeneutika sebagai metodologi
filologis.
c.
Hermeneutika
sebagai ilmu pemahaman linguistik.
d.
Hermeneutika
sebagai fondasi metodologi bagi Geisteswissenschaften.
e.
Hermeneutika
sebagai fenomenologi dasein dan pemahaman eksistensial.
f.
Hermeneutika
sebagai sistem interpretasi.
4. Teori hermeneutika terbagi atas
empat jenis atau kelompok hermeneutika, yaitu: pertama, Hermeneutika
metode; kedua, Hermeneutika filosofis; ketiga, Hermeneutika
kritis; dan keempat, konsep Hermeneutika fenomenologi Paul Ricoeur.
DAFTAR PUSTAKA
Bakhtiar, Amsal, 2009, Filsafat
Ilmu, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Dahlan, Moh., 2009, Abdullah
Ahmed an-Na’im: Epistemologi Hukum Islam, Yogyakarta; Pustaka Pelajar.
Husaini, Adian dan Abdurrahman
al-Baghdadi, 2007, Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an, Jakarta: Gema
Insani.
Latief, Juraid Abdul, 2006, Manusia,
Filsafat dan Sejarah, Jakarta: Bumi Aksara.
Muhadjir, Noeng, 1998, Filsafat
Ilmu, Telaah Sistematis Fungsional Komparatif, Yogyakarta: Reka Sarasin.
Mustaqim, Abdul dan Sahiron
Syamsudin (ed.), 2002, Studi Al-Qur’an Kontemporer, Wacana Baru Berbagai
Metodologi Tafsir, Yogyakarta: Tiara Wacana.
Muzir, Inyiak Ridwan, 2008, Hermeneutika
Filosofis Hans-George Gadamer, disadur dari buku Truth and Method karangan
Hans-George Gadamer, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Palmer, Richard E., 2005, Interpretation
Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer, diterjemahkan
oleh Musnur Hery dan Damanhuri Muhammed dengan judul Hermeneutika Teori Baru
Mengenai Interpretasi, Yogyakarta; Pustaka Pelajar.
Setiawan, M. Nur kholis, 2008, Pemikiran
Progresif dalam Kajian Al-Qur’an, Jakarta: Kencana.
Smith, Linda dan William Reaper,
2000, A Beginner’s Guide to Ideas, diterjemahkan oleh P. Hardono Hadi
dengan judul Ide-ide, Filsafat dan Agama, Dulu dan Sekarang, Yogyakarta:
Kanisius.
Zaid, Nasr Hamid Abu, 2005, Mafhum
an-Nāsh Dirāsah fi ‘Ulūm al-Qur’an, diterjemahkan oleh Khoirun Nadliyyin
dengan judul Tekstual Al-Qur’an, Kritik Terhadap Ulumul Qur’an,
Yogyakarta; LKiS.
Zar, Sirajuddin, 2004, Filsafat
Islam, Filosof dan Filsafatnya, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
[1] Linda Smith dan William Reaper, A
Beginner’s Guide to Ideas, diterjemahkan oleh P. Hardono Hadi dengan judul Ide-ide,
Filsafat dan Agama, Dulu dan Sekarang, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), cet.
ke 1, hlm. 10.
[2] Sirajuddin Zar, Filsafat
Islam, Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004),
cet. ke 1, hlm. 6.
[3]
Lihat
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
2009), cet. ke 7, hlm. 148.
[4] Adian Husaini dan Abdurrahman
al-Baghdadi, Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an, (Jakarta: Gema Insani,
2007), cet. ke 1, hlm. 7.
[5] Inyiak Ridwan Muzir, Hermeneutika
Filosofis Hans-George Gadamer, disadur dari buku Truth and Method karangan
Hans-George Gadamer, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), cet. ke 1, hlm. 65-67.
[6] Lihat Noeng Muhadjir, Filsafat
Ilmu, Telaah Sistematis Fungsional Komparatif, (Yogyakarta: Reka Sarasin,
1998), hlm. 85.
[7] Juraid Abdul Latief, Manusia,
Filsafat dan Sejarah, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), cet. ke 1, hlm. 89.
[8]
Dalam kajian-kajian keislaman, khususnya ilmu-ilmu Alquran, metode hermeneutika
juga terdiri atas unsur-unsur penting interpretasi yang tidak jauh berbeda
dengan struktur di atas, yaitu si pembuat teks (Allah), si penerima (audiens)
dan teks itu sendiri (Alquran). Ditambahkan lagi peranan mediator dari teks
tersebut (malaikat). Lihat Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhum an-Nāsh Dirāsah fi
‘Ulūm al-Qur’an, diterjemahkan oleh Khoirun Nadliyyin dengan judul Tekstual
Al-Qur’an, Kritik Terhadap Ulumul Qur’an, (Yogyakarta; LKiS, 2005), cet. ke
4, hlm. 43.
[9] M. Nur kholis Setiawan, Pemikiran
Progresif dalam Kajian Al-Qur’an, (Jakarta: Kencana, 2008), cet. ke 1, hlm.
x.
[11]Apabila dikaitkan dengan teori
hermeneutika yang dilakukan dalam interpretasi terhadap, maka diketahui juga
memiliki ciri khas dalam lingkaran hermeneutika yang dimaksud. Untuk lebih
jelas lihat Abdul Mustaqim dan Sahiron Syamsudin (ed.), Studi Al-Qur’an Kontemporer,
Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002),
cet. ke 1, hlm. 197 dan 201.
[13] Richard E. Palmer, Interpretation
Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer, diterjemahkan
oleh Musnur Hery dan Damanhuri Muhammed dengan judul Hermeneutika Teori Baru
Mengenai Interpretasi, (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2005), cet. ke 2, hlm.
39-48.
[15] Maka dengan demikian, secara umum
hermeneutika dapat didefinisikan sebagai teori atau filsafat interpretasi.
Lihat Josef Bleicher, Contemporary Hermeneutics; Hermeneutics as Method,
Phiilosophy and Critique, (London; Routledge and Kegan Paul, t.th.), hlm. 1.
[16]Untuk lebih jelas lihat Moh.
Dahlan, Abdullah Ahmed an-Na’im: Epistemologi Hukum Islam, (Yogyakarta;
Pustaka Pelajar, 2009), cet. ke 1, hlm. 20-39.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar