PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Ilmu Kalam
Ibn Rushd (1198 M)
dalam bukunya Metaphysics (dalam
Wolfson; 1976) menjelaskan bahwa istilah kalam, secara literal bermakna
pembicaraan (speech) atau perkataan (word).[1]
Adapun menurut Jahm bin
Safwan (137 H/745 M), Wasil bin ‘Ata’ (140 H/748 M), al-Juwayni, dan lain-lain
mendefiniskan ilmu kalam sebagai disiplin ilmunyang membahas akidah Islam.[2]
Ibn Kaldun
mendefinisikan ilmu kalam adalah disiplin ilmu yang mengandung
argumentasi-argumentasi tentang akidah imani yang diperkuat dalil-dalil
rasional.[3]
B.
Sejarah
Kemuncunlan Persoalan-Persoalan Kalam
Menurut pandangan Harun
Nasution, persoalan-persoalan kalam dipicu kemunculannya oleh
persoalan-persoalan politik. Persoalan-persoalan politik yang dimaksud
menyangkut peristiwa pembunuhan ‘Utsman bin ‘Affan yang berujung pada penolakan
Mu’awiyah (salah seorang keluarga Usman) atas kekhalifahan ‘Ali bin Abi Thalib.[4]
Disamping tidak setuju
dengan pengangkatan Ali menjadi khalifah, Mu’awiyah menuntut atas kematian
Usman. Ia mendesak Ali agar menghukum orang-orang yang terlibat dalam
pembunuhan terhadap Usman. Ia juga menuduh Ali ikut campur tangan dalam
pembunuhan tersebut. Di antara pemuka pemberontak yang terlibat dalam
pembunuhan Usman itu terdapat seorang anak angkat Ali bernama Muhammad bin Abi
Bakar. Namun Ali tidak mau memenuhi desakan Mu’awiyah itu. Ia tidak melakukan
tindakan hokum terhadap mereka yang dikatakan terlibat dalam pembunuhan atas
diri Usman tersebut. Disamping itu Ali bahkan megangkat Muhammad bin Abi Bakar
menjadi gubernur Mesir sehingga membawa kepada terjadinya perang antara Ali
dengan pihak Mu’awiyah, yang dikenal dengan perang Shiffin.[5]
Dalam pertempuran
tersebut pasukan Ali sudah hamper meraih kemenangan, dan pihak tentara Mu’awiyah
sudah bersiap-siap untuk melarikan diri. Tetapi pada waktu itu ‘Amr Ibn al-‘Ash
yang menjadi tangan kanan Mu’awiyah dan terkenal sebagai seorang ahli siasat
perang dan sangat licik minta berdamai dengan megangkat Al-Qur’an ke atas
dengan ujung tombak sebagai pertanda ingin berhukum dengan Al-Qur’an.[6]
Para sahabat yang hafal
Al-Qur’an di pihak Ali mendesak kepada Ali agar menerima tawaran tersebut.
Namun sebagian yang lain di antaranya ada yang enggan menerima tawaran itu,
karena menganggap hal itu kemungkinan hanya siasat dan tipu muslihat belaka.
Sebenarnya Ali sangat berat menerima tawaran itu, namun karena desakan kuat
dari para sahabat yang hafal Al-Qur’an itu, ia akhirnya bersedia menerima
peperangan dihentikan dan antara kedua belah pihak disepakati untuk berdamai
dengan mengadakan tahkim (arbitrase).[7]
Untuk melaksanakan tahkim itu masing-masing dari kedua
belah pihak menunjuk satu orang sebagai perantara. Pihak Mu’awiyah menunjuk
‘Arm Ibn al-Ash sedangkan pihak Ali menunjuk Abu Musa Al-Asy’ari, seorang yang
dikenal saleh, jujur, dan takwa. Dalam pertemuan antara kedua belah perantara
itu disepakati untuk sama-sama terlebih dahulu menjatuhkan kedua orang tokoh
yang bersangketa yang disampaikan kepada orang banyak, yakni Ali dan Mu’awiyah.
Kemudian setelah itu untuk menentukan siapa yang dipilih menjadi khalifah
dilakukan musyawarah kaum muslimin.[8]
Rupanya kelicikan
siasat dan tipu muslihat ‘Amr Ibn al-‘Ash dapat mengalahkan kejujuran Abu Musa
al-Asy’ari. ‘Amr Ibn al-‘Ash meminta Abu Musa al-Asy’ari lebih dahulu berdiri
mengumumkan penjatuhan Ali dari kedudukan sebagai khalifah. Kemudian ‘Amr Ibn
al-‘Ash kemudian mengumumkan bahwa ia menyetujui keputusan dijatuhkannya Ali
dari kedudukan sebagai khalifah yang telah diumumkan Abu Musa itu. Oleh karena
Ali telah dijatuhkan, maka menurut ‘Amr Ibn al-‘Ash, sebagai penggantinya
Mu’awiyah yang menjadi khalifah. Hal tersebut jelas sekali merugikan pihak Ali
karena tidak sesuai dengan apa yang telah disepakati.[9]
Sahabat yang semula
meminta Ali menolak permintaan damai dari pihak Mu’awiyah sangat kecewa atas tindakan Ali. Mereka yang
kecewa ini kemudian keluar dari kelompok Ali, karena mereka menganggap Ali
telah bersalah. Mereka yang keluar meninggalkan kelompok Ali ini dikenal dengan
sebutan “Khawarij”. Kata Khawarij berasal dari kata “Kharaja” berarti
orang-orang yang keluar.[10]
Sendangkan mereka yang mendukung sikap Ali disebut dengan “Syi’ah”. Kata
“Syi’ah” berarti pengikut/pendukung.[11]
C.
Pemikiran-Pemikiran
Teologi Dalam Islam
1. Khawarij
Kata
khawarij berasal dari kata kharaja
yang berarti keluar, nama itu diberikan kepada mereka yang keluar barisan Ali
Ibn Thalib.[12]
Kaum Khawarij adalah orang-orang yang semula mendukung Ali Ibn Thalib.[13] Mereka tidak setuju terhadap sikap Ali yang
menerima tahkim (Arbitrase) sebagai
jalan untuk menyelesaikan persengketaan khalifah dengan Mu’awiyah sehingga
mereka keluar dari barisan Ali Ibn Thalib. Mereka berpendapat bahwa Ali,
Mu’awiyah, kedua pengantara ‘Amr Ibn al-Ash dan Abu Musa al-Asy’ari serta semua
orang yang menyetujui tahkim sebagai
orang-orang yang telah bersalah dan menjadi kafir.[14] Mereka
telah menjadi kafir karena tahkim yang
diadakan itu tidak berhukum dengan Al-Qur’an. Tidak berhukum dengan Al-Qur’an
berarti sama dengan tidak berhukum
dengan ketentuan hukum Allah yang ada di dalam kitab yang telah diturunkan
oleh Allah. Siapa yang tidak berhukum
dengan ketentuan hukum Allah adalah kafir. Untuk memperkuat pendapat ini mereka
mengemukakan argument berupa ayat Al-Qur’an, yaitu surah al- Ma’idah ayat 44:[15]
`tBur óO©9 Oä3øts !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbrãÏÿ»s3ø9$#
“Barangsiapa yang tidak
memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir”.
Kaum
Khawarij telah memunculkan pendapat baru tentang kafir. Di dalam Al-Qur’an,
pada masa Nabi dan masa sahabat sebelum munculnya kaum Khawarij, yang dimaksud
kafir adalah orang yang tidak masuk Islam atau orang yang di luar Islam.[16]
Sedang menurut pendapat kaum Khawarij, kafir bukan hanya orang yang tidak masuk
Islam dan orang yang di luar Islam, tetapi orang Islam yang tidak melaksanakan hukum Allah
adalah juga kafir.
2. Syi’ah
Syi’ah
secara bahasa berarti “pengikut”, “pendukung”, “partai”, atau “kelompok”[17],
sedangkan secara umum Syi’ah adalah mazhab politik yang pertama lahir dalam
Islam.[18]
Mengenai kemunculannya terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ahli. Dari
beberapa perbedaan pendapat para ahli tentang munculnya Syi’ah ada yang
berpendapat bahwa Syi’ah mulai muncul berkaitan dengan masalah perggantian
(Khilafah) Nabi Muhammad SAW. Mereka menolak kekhalifahan Abu Bakar, Umar bin
Khattab, dan Ustman bin ‘Affan karena dalam pandangan mereka hanya ‘Ali bin Abi
Thalib yang berhak menggantikan Nabi.[19] Pemikiran
teologi terpenting yang dimunculkan kaum Syi’ah masalah imamah (kepemimpinan). Kalangan kaum muslimin pada umumnya menyebut
pengganti Nabi dengan sebutan “Khalifah”.
Sedangkan kalangan kaum Syi’ah tidak menggunakan sebutan Khalifah, mereka menggunakan sebutan iman. Menurut pendapat mereka, imamah
adalah termasuk fondasi agama dan merupakan fondasi Islam. Imam adalah
bukan manusia biasa, melainkan manusia yang bersifat ma’shum (terpelihara) dari dosa besar dan kecil. Atau dengan kata
lain, imam adalah manusia suci. Di sinilah letaknya perbedaan pemikiran teologi
kaum Syi’ah dari kalangan umat Islam lainnya.[20]
3. Murji’ah
Nama
Murji’ah diambil dari kata irja’ atau
arja’a yang bermakna penundaan,
penangguhan, dan pengharapan. Kata arja’a mengandung arti member pengharapan,
yaitu kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat Allah
SWT. Ada beberapa teori yang berkembang mengenai asal-usul kemunculan Murji’ah.
Teori pertama mengatakan bahwa
gagasan irja’ atau arja’a dikembangkan oleh sebagian
sahabat dengan tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat Islam ketika terjadi
pertikaian politik dan untuk menghindari sektarianisme. Teori lain mengatakan gagasan irja’a
yang merupakan basis doktrin Murji’ah muncul pertama kala kali sebagai
gerakan politik yang diperlihatkan oleh cucu Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan bin
Muhammad Al-Hanafiyah, sekitar tahun 695.[21] Menurut
kaum Murji’ah bahwa pembuat dosa besar tetap mukmin, tidak kafir, sementara
dosanya diserahkan kepada Allah SWT, apa mengampuninya atau tidak.[22]
Karena orang Islam yang berbuat dosa besar itu tetap mengakui bahwa tiada Tuhan
selain Allah dan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah utusanNya. Oleh karena itu,
kalau mereka berbuat dosa besar, mereka tetap mukmin dan tidak menjadi kafir.[23]
4. Mu’tazilah
Mu’tazilah
berasal dari kata “i’ tazala”( اعتزل ), yang berarti mengasingkan
diri.[24] Secara
teknis, istilah Mu’tazilah dapata menunjuk pada dua golongan. Golongan pertama
(selanjutnya disebut Mu’tazilah I)
muncul sebagai kaum netral politik, khususnya dalam arti sikap yang lunak dalam
menengahi pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya, terutama
Mu’awiyah, Aisyah, dan Abdullah bin Zubair. Golongan kedua (selanjutnya disebut
Mu’tazilah II) sebagai respons
persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Murji’ah karena
peristiwa tahkim. Golongan Mu’tazilah
ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Murji’ah
tentang status kafir kepada orang yang berbuat dosa besar.[25]
Menurut kaum Mu’tazilah orang yang berdosa besar buka kafir dan bukan pula
mukmin. Mereka berada pada posisi al-manzilah
bainal manzilataini.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
Khalid, Abdul Rahman, Garis Pemisah
Antara Kufur dan Iman. Jakarta: Bumi Aksara, 1996.
A. Nasir, Salihun. Pengantar Ilmu Kalam. Jember: PT
RajaGrafindo Persada, 1991.
Abu
Zaheah, Imam Muhammad. Aliran Politik dan ‘Aqidah Dalam Islam.
Jakarta: Logos, 1996.
Barmawi, Yusuf. Konsep Iman dan Kufur Dalam Teologi Islam.
Surabaya: PT Bina Ilmu, 1987.
Hadriansyah.
Pemikiran-Pemikiran Dalam Sejarah
Pemikiran Islam. Cet. I. Banjarmasin: Antasari Prees, 2008.
__________.
Pemikiran-Pemikiran Teologi Dalam Sejarah
Pemikiran Islam. Cet. II Banjarmasin: Antasri Press, 2010.
In’am
Esha, Muhammad. RETHINKING KALAM
Sejarah Sosisial Pengetahuan Islam,
Mencermati Dinamika dan Aras Perkembangan Kalam Islam Komtemporer.
Yogyakarta: eLSAQ Press, 2006.
Maghfur,
Muhammad, Koreksi atas Kesalahan
Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam. Bangil: Al-Izzah, 2002.
Nasution,
Harun. Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandinga.
Cet. I. Jakarta: UI-Press, 1972.
Nata,
Abuddin. Ilmu Kalam, Filsafat, dan
Tasawuf. Cet. I. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1993.
Rozak, Abdul, Rosihon
Anwar, Ilmu Kalam, edisi revisi.
Bandung: Pustaka Setia, 2012.
[1] Muhammad In’am Esha, RETHINKING KALAM Sejarah Sosisial Pengetahuan Islam, Mencermati
Dinamika dan Aras Perkembangan Kalam Islam Komtemporer, (Yogyakarta: eLSAQ
Press, 2006), h. 11.
[2] Muhammad Maghfur, Koreksi atas Kesalahan Pemikiran Kalam dan
Filsafat Islam, (Bangil: Al-Izzah, 2002), h. 6.
[3] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, edisi revisi (Bandung:
Pustaka Setia, 2012), h. 22.
[4] Ibid., h. 34.
[5] Hadariansyah, Pemikiran-Pemikiran Teologi Dalam Sejarah
Pemikiran Islam, (Banjarmasin: Antasri Press, 2010), cet. II, h. 14.
[6] Ibid., h.15.
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9]
Ibid., h. 16.
[10] Ibid., h. 17.
[11] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, edisi revisi, op.cit., h. 111.
[12] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandinga, ( Jakarta: UI-Press,
1972), cet. I, h. 11.
[13] Salihun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, (Jember: PT RajaGrafindo
Persada, 1991), h. 91.
[14] Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf, (
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1993), cet. I, h. 30.
[15] Hadriansyah, Pemikiran-Pemikiran Dalam Sejarah Pemikiran
Islam, (Banjarmasin: Antasari Prees, 2008), cet. I, h. 26.
[16] Abdul Rahman Abdul Khalid, Garis Pemisah Antara Kufur dan Iman,
(Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h. 77.
[17]
Abdul Rozak dan Rosihon
Anwar, Ilmu Kalam, edisi revisi, op.cit., h. 111.
[18]
Imam Muhammad Abu Zaheah, Aliran Politik dan ‘Aqidah Dalam Islam,
(Jakarta: Logos, 1996), h. 34.
[19]
Abdul Rozak dan Rosihon
Anwar, Ilmu Kalam, edisi revisi, op.cit., h. 112.
[20]
Hadariansyah, Pemikiran-Pemikiran Teologi Dalam Sejarah
Pemikiran Islam, op.cit., h.
44-45.
[21] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, edisi revisi, op.cit., h. 71.
[22] Imam Muhammad Abu Zaheah, Aliran Politik dan ‘Aqidah Dalam Islam, op.cit., h. 145.
[23] Bakir Yusuf Barmawi, Konsep Iman dan Kufur Dalam Teologi Islam,
(Surabaya: PT Bina Ilmu, 1987), h. 12.
[24] Hadariansyah, Pemikiran-Pemikiran Teologi Dalam Sejarah
Pemikiran Islam, op.cit., h. 89.
[25] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, edisi revisi, op.cit., h. 97-98.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar