Sabtu, 13 Februari 2016

PEMIKIRAN TENTANG ILMU KALAM BY SANI



PEMBAHASAN

A.    Pengertian Ilmu Kalam
Ibn Rushd (1198 M) dalam bukunya Metaphysics (dalam Wolfson; 1976) menjelaskan bahwa istilah kalam, secara literal bermakna pembicaraan (speech) atau perkataan (word).[1]
Adapun menurut Jahm bin Safwan (137 H/745 M), Wasil bin ‘Ata’ (140 H/748 M), al-Juwayni, dan lain-lain mendefiniskan ilmu kalam sebagai disiplin ilmunyang membahas akidah Islam.[2]
Ibn Kaldun mendefinisikan ilmu kalam adalah disiplin ilmu yang mengandung argumentasi-argumentasi tentang akidah imani yang diperkuat dalil-dalil rasional.[3]

B.     Sejarah Kemuncunlan Persoalan-Persoalan Kalam
Menurut pandangan Harun Nasution, persoalan-persoalan kalam dipicu kemunculannya oleh persoalan-persoalan politik. Persoalan-persoalan politik yang dimaksud menyangkut peristiwa pembunuhan ‘Utsman bin ‘Affan yang berujung pada penolakan Mu’awiyah (salah seorang keluarga Usman) atas kekhalifahan ‘Ali bin Abi Thalib.[4]
Disamping tidak setuju dengan pengangkatan Ali menjadi khalifah, Mu’awiyah menuntut atas kematian Usman. Ia mendesak Ali agar menghukum orang-orang yang terlibat dalam pembunuhan terhadap Usman. Ia juga menuduh Ali ikut campur tangan dalam pembunuhan tersebut. Di antara pemuka pemberontak yang terlibat dalam pembunuhan Usman itu terdapat seorang anak angkat Ali bernama Muhammad bin Abi Bakar. Namun Ali tidak mau memenuhi desakan Mu’awiyah itu. Ia tidak melakukan tindakan hokum terhadap mereka yang dikatakan terlibat dalam pembunuhan atas diri Usman tersebut. Disamping itu Ali bahkan megangkat Muhammad bin Abi Bakar menjadi gubernur Mesir sehingga membawa kepada terjadinya perang antara Ali dengan pihak Mu’awiyah, yang dikenal dengan perang Shiffin.[5]
Dalam pertempuran tersebut pasukan Ali sudah hamper meraih kemenangan, dan pihak tentara Mu’awiyah sudah bersiap-siap untuk melarikan diri. Tetapi pada waktu itu ‘Amr Ibn al-‘Ash yang menjadi tangan kanan Mu’awiyah dan terkenal sebagai seorang ahli siasat perang dan sangat licik minta berdamai dengan megangkat Al-Qur’an ke atas dengan ujung tombak sebagai pertanda ingin berhukum dengan Al-Qur’an.[6]
Para sahabat yang hafal Al-Qur’an di pihak Ali mendesak kepada Ali agar menerima tawaran tersebut. Namun sebagian yang lain di antaranya ada yang enggan menerima tawaran itu, karena menganggap hal itu kemungkinan hanya siasat dan tipu muslihat belaka. Sebenarnya Ali sangat berat menerima tawaran itu, namun karena desakan kuat dari para sahabat yang hafal Al-Qur’an itu, ia akhirnya bersedia menerima peperangan dihentikan dan antara kedua belah pihak disepakati untuk berdamai dengan mengadakan tahkim (arbitrase).[7]
Untuk melaksanakan tahkim itu masing-masing dari kedua belah pihak menunjuk satu orang sebagai perantara. Pihak Mu’awiyah menunjuk ‘Arm Ibn al-Ash sedangkan pihak Ali menunjuk Abu Musa Al-Asy’ari, seorang yang dikenal saleh, jujur, dan takwa. Dalam pertemuan antara kedua belah perantara itu disepakati untuk sama-sama terlebih dahulu menjatuhkan kedua orang tokoh yang bersangketa yang disampaikan kepada orang banyak, yakni Ali dan Mu’awiyah. Kemudian setelah itu untuk menentukan siapa yang dipilih menjadi khalifah dilakukan musyawarah kaum muslimin.[8]
Rupanya kelicikan siasat dan tipu muslihat ‘Amr Ibn al-‘Ash dapat mengalahkan kejujuran Abu Musa al-Asy’ari. ‘Amr Ibn al-‘Ash meminta Abu Musa al-Asy’ari lebih dahulu berdiri mengumumkan penjatuhan Ali dari kedudukan sebagai khalifah. Kemudian ‘Amr Ibn al-‘Ash kemudian mengumumkan bahwa ia menyetujui keputusan dijatuhkannya Ali dari kedudukan sebagai khalifah yang telah diumumkan Abu Musa itu. Oleh karena Ali telah dijatuhkan, maka menurut ‘Amr Ibn al-‘Ash, sebagai penggantinya Mu’awiyah yang menjadi khalifah. Hal tersebut jelas sekali merugikan pihak Ali karena tidak sesuai dengan apa yang telah disepakati.[9]
Sahabat yang semula meminta Ali menolak permintaan damai dari pihak Mu’awiyah  sangat kecewa atas tindakan Ali. Mereka yang kecewa ini kemudian keluar dari kelompok Ali, karena mereka menganggap Ali telah bersalah. Mereka yang keluar meninggalkan kelompok Ali ini dikenal dengan sebutan “Khawarij”. Kata Khawarij berasal dari kata “Kharaja” berarti orang-orang yang keluar.[10] Sendangkan mereka yang mendukung sikap Ali disebut dengan “Syi’ah”. Kata “Syi’ah” berarti pengikut/pendukung.[11]



C.    Pemikiran-Pemikiran Teologi Dalam Islam
1.      Khawarij
Kata khawarij berasal dari kata kharaja yang berarti keluar, nama itu diberikan kepada mereka yang keluar barisan Ali Ibn Thalib.[12] Kaum Khawarij adalah orang-orang yang semula mendukung Ali Ibn Thalib.[13]  Mereka tidak setuju terhadap sikap Ali yang menerima tahkim (Arbitrase) sebagai jalan untuk menyelesaikan persengketaan khalifah dengan Mu’awiyah sehingga mereka keluar dari barisan Ali Ibn Thalib. Mereka berpendapat bahwa Ali, Mu’awiyah, kedua pengantara ‘Amr Ibn al-Ash dan Abu Musa al-Asy’ari serta semua orang yang menyetujui tahkim sebagai orang-orang yang telah bersalah dan menjadi kafir.[14] Mereka telah menjadi kafir karena tahkim yang diadakan itu tidak berhukum dengan Al-Qur’an. Tidak berhukum dengan Al-Qur’an berarti  sama dengan tidak berhukum dengan ketentuan hukum Allah yang ada di dalam kitab yang telah diturunkan oleh  Allah. Siapa yang tidak berhukum dengan ketentuan hukum Allah adalah kafir. Untuk memperkuat pendapat ini mereka mengemukakan argument berupa ayat Al-Qur’an, yaitu surah al- Ma’idah ayat 44:[15]
`tBur óO©9 Oä3øts !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbrãÏÿ»s3ø9$#
Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”.

Kaum Khawarij telah memunculkan pendapat baru tentang kafir. Di dalam Al-Qur’an, pada masa Nabi dan masa sahabat sebelum munculnya kaum Khawarij, yang dimaksud kafir adalah orang yang tidak masuk Islam atau orang yang di luar Islam.[16] Sedang menurut pendapat kaum Khawarij, kafir bukan hanya orang yang tidak masuk Islam dan orang yang di luar Islam, tetapi orang  Islam yang tidak melaksanakan hukum Allah adalah juga kafir.
2.      Syi’ah
Syi’ah secara bahasa berarti “pengikut”, “pendukung”, “partai”, atau “kelompok”[17], sedangkan secara umum Syi’ah adalah mazhab politik yang pertama lahir dalam Islam.[18] Mengenai kemunculannya terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ahli. Dari beberapa perbedaan pendapat para ahli tentang munculnya Syi’ah ada yang berpendapat bahwa Syi’ah mulai muncul berkaitan dengan masalah perggantian (Khilafah) Nabi Muhammad SAW. Mereka menolak kekhalifahan Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Ustman bin ‘Affan karena dalam pandangan mereka hanya ‘Ali bin Abi Thalib yang berhak menggantikan Nabi.[19] Pemikiran teologi terpenting yang dimunculkan kaum Syi’ah masalah imamah (kepemimpinan). Kalangan kaum muslimin pada umumnya menyebut pengganti Nabi dengan sebutan “Khalifah”. Sedangkan kalangan kaum Syi’ah tidak menggunakan sebutan Khalifah, mereka menggunakan sebutan iman. Menurut pendapat mereka, imamah adalah termasuk fondasi agama dan merupakan fondasi Islam. Imam adalah bukan manusia biasa, melainkan manusia yang bersifat ma’shum (terpelihara) dari dosa besar dan kecil. Atau dengan kata lain, imam adalah manusia suci. Di sinilah letaknya perbedaan pemikiran teologi kaum Syi’ah dari kalangan umat Islam lainnya.[20]
3.      Murji’ah
Nama Murji’ah diambil dari kata irja’ atau arja’a yang bermakna penundaan, penangguhan, dan pengharapan. Kata  arja’a mengandung arti member pengharapan, yaitu kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat Allah SWT. Ada beberapa teori yang berkembang mengenai asal-usul kemunculan Murji’ah. Teori pertama mengatakan bahwa gagasan irja’ atau arja’a dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat Islam ketika terjadi pertikaian politik dan untuk menghindari sektarianisme. Teori lain mengatakan gagasan irja’a yang merupakan basis doktrin Murji’ah muncul pertama kala kali sebagai gerakan politik yang diperlihatkan oleh cucu Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan bin Muhammad Al-Hanafiyah, sekitar tahun 695.[21] Menurut kaum Murji’ah bahwa pembuat dosa besar tetap mukmin, tidak kafir, sementara dosanya diserahkan kepada Allah SWT, apa mengampuninya atau tidak.[22] Karena orang Islam yang berbuat dosa besar itu tetap mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah utusanNya. Oleh karena itu, kalau mereka berbuat dosa besar, mereka tetap mukmin dan tidak menjadi kafir.[23]



4.      Mu’tazilah
Mu’tazilah berasal dari kata “i’ tazala( اعتزل ), yang berarti mengasingkan diri.[24] Secara teknis, istilah Mu’tazilah dapata menunjuk pada dua golongan. Golongan pertama (selanjutnya disebut Mu’tazilah I) muncul sebagai kaum netral politik, khususnya dalam arti sikap yang lunak dalam menengahi pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya, terutama Mu’awiyah, Aisyah, dan Abdullah bin Zubair. Golongan kedua (selanjutnya disebut Mu’tazilah II) sebagai respons persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Murji’ah karena peristiwa tahkim. Golongan Mu’tazilah ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Murji’ah tentang status kafir kepada orang yang berbuat dosa besar.[25] Menurut kaum Mu’tazilah orang yang berdosa besar buka kafir dan bukan pula mukmin. Mereka berada pada posisi al-manzilah bainal manzilataini.










DAFTAR PUSTAKA




Abdul Khalid, Abdul Rahman, Garis Pemisah Antara Kufur dan Iman. Jakarta: Bumi Aksara, 1996.
A. Nasir, Salihun. Pengantar Ilmu Kalam. Jember: PT RajaGrafindo Persada, 1991.
Abu Zaheah, Imam Muhammad.  Aliran Politik dan ‘Aqidah Dalam Islam. Jakarta: Logos, 1996.

Barmawi, Yusuf. Konsep Iman dan Kufur Dalam Teologi Islam. Surabaya: PT Bina Ilmu, 1987.
Hadriansyah. Pemikiran-Pemikiran Dalam Sejarah Pemikiran Islam. Cet. I. Banjarmasin: Antasari Prees, 2008.
__________. Pemikiran-Pemikiran Teologi Dalam Sejarah Pemikiran Islam. Cet. II Banjarmasin: Antasri Press, 2010.
In’am Esha, Muhammad. RETHINKING KALAM Sejarah  Sosisial Pengetahuan Islam, Mencermati Dinamika dan Aras Perkembangan Kalam Islam Komtemporer. Yogyakarta: eLSAQ Press, 2006.
 
Maghfur, Muhammad, Koreksi atas Kesalahan Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam. Bangil: Al-Izzah, 2002.

Nasution, Harun. Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandinga. Cet. I. Jakarta: UI-Press, 1972.

Nata, Abuddin. Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf. Cet. I. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1993.

Rozak, Abdul, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, edisi revisi. Bandung: Pustaka Setia, 2012.





[1] Muhammad In’am Esha, RETHINKING KALAM Sejarah  Sosisial Pengetahuan Islam, Mencermati Dinamika dan Aras Perkembangan Kalam Islam Komtemporer, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2006), h.  11.
 
[2] Muhammad Maghfur, Koreksi atas Kesalahan Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam, (Bangil: Al-Izzah, 2002), h. 6.

[3] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, edisi revisi (Bandung: Pustaka Setia, 2012), h. 22. 

[4] Ibid., h. 34.
[5] Hadariansyah, Pemikiran-Pemikiran Teologi Dalam Sejarah Pemikiran Islam, (Banjarmasin: Antasri Press, 2010), cet. II, h. 14.

[6] Ibid., h.15.

[7] Ibid.
[8] Ibid.

[9]  Ibid., h. 16.

[10] Ibid., h. 17.

[11] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, edisi revisi, op.cit., h. 111.
[12] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandinga, ( Jakarta: UI-Press, 1972), cet. I, h. 11.

[13] Salihun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, (Jember: PT RajaGrafindo Persada, 1991), h. 91.

[14] Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf, ( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1993), cet. I, h. 30.

[15] Hadriansyah, Pemikiran-Pemikiran Dalam Sejarah Pemikiran Islam, (Banjarmasin: Antasari Prees, 2008), cet. I, h. 26.
[16] Abdul Rahman Abdul Khalid, Garis Pemisah Antara Kufur dan Iman, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h. 77.

[17] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, edisi revisi, op.cit., h. 111.

[18] Imam Muhammad Abu Zaheah, Aliran Politik dan ‘Aqidah Dalam Islam, (Jakarta: Logos, 1996), h. 34.

[19] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, edisi revisi, op.cit., h. 112.
[20] Hadariansyah, Pemikiran-Pemikiran Teologi Dalam Sejarah Pemikiran Islam, op.cit., h. 44-45.

[21] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, edisi revisi, op.cit., h. 71.

[22] Imam Muhammad Abu Zaheah, Aliran Politik dan ‘Aqidah Dalam Islam, op.cit., h. 145.

[23] Bakir Yusuf Barmawi, Konsep Iman dan Kufur Dalam Teologi Islam, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1987), h. 12.
[24] Hadariansyah, Pemikiran-Pemikiran Teologi Dalam Sejarah Pemikiran Islam, op.cit., h. 89.

[25] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, edisi revisi, op.cit., h. 97-98.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Penusukan Syekh Al Jabir

  Penulis Kontributor Lampung, Tri Purna Jaya | Editor David Oliver Purba LAMPUNG   KOMPAS.com – Ulama dan pendakwah Syekh Ali Jaber meminta...