Sabtu, 13 Februari 2016

KAJIAN HADIS VERSI SARJANA HADIS INDONESIA (TELAAH PEMIKIRAN M. SYUHUDI ISMAIL) BY SANI



A.    Biografi Muhammad Syuhudi Ismail

Prof. Dr. Muhammad Syuhudi Ismail merupakan guru besar ilmu hadits, yang muncul pada abad ke-20. Ia peneliti hadits yang produktif menulis. M. Syuhudi Ismail lahir di Rowo Kangkung, Lumajang, Jawa Timur, pada tanggal 23 April 1943, putra keempat dari pasangan H. Ismail dan Sufiyatun. Orang tuanya adalah seorang saudagar yang taat pada beragama, ayahnya berasal dari suku Madura sedangkan ibunya berasal dari suku Jawa.
Pada usia 22 tahun beliau menikah dengan Nurhaedah Sanusi yang dikaruniai empat orang putra dan putri yang masih hidup hanya tiga yaitu: Yunida Indriani, Khaerul Muttaqin dan Muhammad Fuad Fathoni pada awal tahun 1972 istrinya meninggal dan kemudian menikah lagi dengan Habibah Sanusi yaitu kakak kandung dari Nurhaedah Sanusi, yang dikaruniai dua putra yaitu Muhammad Ahsan dan Muhammad Irfan.[1]
Karier studinya, pada tahun 1955 ia menamatkan Sekolah Rakyat Negeri di Sidorejo, Lumajang, Jawa Timur. Kemudian melanjutkan pendidikannya ke Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) di Malang dan tamat pada tahun 1959. Setelah menyelesaikan studinya pada Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN) di Yogyakarta pada tahun 1961, Syuhudi Ismail berhijrah ke Makassar. Syuhudi Ismail menyelesaikan studinya pada Fakultas Syari'ah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta yang berada di Makassar, dengan ijazah Sarjana Muda pada tahun 1965. Kemudian dia melanjutkan studinya pada Fakultas Syari'ah IAIN Alauddin Makassar dan berhasil tamat sebagai sarjana pada tahun 1973.
Setelah mendapat gelar sarjana, Syuhudi Ismail kembali ke Yogyakarta dan belajar pada Studi Purna Sarjana (SPS) untuk tahun akademi 1978/1979. Kemudian Syuhudi Ismail melanjutkan studinya pada Program Studi S2 (master) pada Fakultas Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta hingga tamat pada tahun 1985.[2] Syuhudi Ismail meraih gelar Doktor dalam bidang Ilmu Hadits pada Fakultas Pascasarjana yang sama di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 1987. Syuhudi Ismail memperoleh gelar Professor/Guru Besar dalam bidang Hadits di IAIN Alauddin Makassar pada tahun 1993.[3]
Mengenai riwayat pekerjaannya, Syuhudi Ismail pernah menjadi pegawai Pengadilan Agama Tinggi (Mahkamah Syar'iyyah Propinsi) di Makassar pada tahun 1962 sampai dengan tahun 1970. Syuhudi Ismail juga pernah menjabat sebagai Kepala Bagian Kemahasiswaan dan Alumni IAIN Alauddin Makassar pada tahun 1973 hingga 1978. Salah satu tugas yang cukup banyak menyita waktu dan tenaga beliau adalah ketika beliau menjabat sebagai sekretaris Koordinator Perguruan Tinggi Agama Islam (KOPERTAIS) Wilayah VIII Sulawesi dari tahun 1974 sampai dengan tahun 1982 dan sekretaris al-Jami'ah IAIN Alauddin Makassar sejak tahun 1979 hingga tahun 1982.
Selain itu, Syuhudi Ismail juga aktif berkiprah di bidang pendidikan dan pengajaran. Syuhudi Ismail tercatat sebagai dosen di sejumlah perguruan tinggi Islam di Makassar. Di antara perguruan tinggi Islam tempat Syuhudi Ismail mengajar adalah Fakultas Syari'ah IAIN Alauddin Makassar. Syuhudi Ismail mengajar di IAIN Alauddin Makassar sejak tahun 1967 hingga akhir hayatnya. Selain itu, Syuhudi Ismail juga pernah mengajar di Fakultas Tarbiyah Universitas Muhammadiyah (UNISMUH) Makassar dan Enrekang sejak tahun 1974 sampai tahun 1979; Fakultas Ushuluddin dan Syari'ah Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar sejak tahun 1976 hingga tahun 1982; dan Pesantren IMMIM Tamalanrea Makassar sejak tahun 1973 hingga tahun 1978.
Di samping tugas-tugasnya sebagai pegawai dan dosen, Syuhudi Ismail sangat giat dalam membuat karya-karya tulis dalam bentuk makalah, penelitian, bahan pidato, artikel, diktat, dan buku. Syuhudi Ismail juga turut menyumbangkan 13 judul entry untuk Ensiklopedi Islam yang digagas oleh Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama Republik Indonesia pada tahun 1987-1988.[4]
Karya-karya ilmiah beliau sejumlah 164 diantaranya: Menentukan Arah Kiblat dan Waktu Shalat, Hisab Rukyah Awal Bulan Hijriyah dan Cara Membuat Kalender Tahun 2000 dan 2222 M.[5] Sedangkan karya-karya tulis beliau antara lain Pengantar Ilmu Hadits dan Ulumul Hadits; Kaidah Keshahihan Sanad Hadits: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah; Hadits Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya; Ikhtisar Mushthalah Hadits; Hadits Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani Al-Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal; Metodologi Penelitian Hadits Nabi; dan sebagainya.[6]
Syuhudi Ismail wafat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta pada hari Ahad tanggal 19 November 1995, yaitu dua tahun setelah beliau mendapat gelar akademik yang paling tinggi itu di dunia perguruan tinggi. Ia dimakamkan pada hari Senin, 20 November 1995 di pekuburan Arab, Bontoala, sebuah lokasi makam tua yang sangat eksklusif bagi keturunan Arab, padahal dia bukan keturunan Arab.[7]


B.     Kaedah Kesahihan Sanad Hadits Menurut M. Syuhudi Islam
Dalam pemikiran kesahihan Hadits, Syuhudi Ismail memperkenalkan istilah kaedah “Mayor” dan “Minor” sebagai acuan sanad dan matan. Kaedah mayor adalah acuan semua syarat, kriteria, acuan yang berstatus umum pada sanad dan matan, sedangkan kaedah minor bersatus khusus.[8] Melihat dari keumuman pengertian Hadits yang disepakati ulama, unsur-unsur sanad terdiri dari, 1) sanad bersambung, 2) rawi harus `adil, 3) rawi harus `dhabit, 4) sanad hadits harus terhindar dari syaz, dan 5) sanad hadits harus terhindar dari `illah.[9]
Akan tetapi dalam pola Hadits menurut Syuhudi Islam menetapkan tiga unsur kaidah mayor saja, yaitu: sanad bersambung; perawi bersifat ‘adil; dan perawi bersifat dhabith atau tamm al-dhabth. Sedangkan unsur-unsur kaidah minor untuk sanad bersambung yaitu: muttashil (mawshul); marfu’; mahfuz; dan bukan mu’al (bukan Hadits yang mengandung ‘illah). Untuk perawi bersifat ‘adil yaitu: beragama Islam; mukallaf; melaksanakan ketentuan agama; dan memelihara muru’ah. Sedangkan untuk perawi bersifat dhabith atau tamm al-dhabth yaitu: hafal dengan baik hadis yang diriwayatkannya; mampu dengan baik menyampaikan Hadits yang dihafalnya kepada orang lain; terhindar dari syaz; dan terhindar dari ‘illah.[10]
Dalam bacaan Syuhudi Ismail, perbedaan unsur-unsur kaedah mayor dan minor hanya terletak pada pengorganisasian saja. Menurutnya, mayoritas ulama Hadits memasukkan kedua unsur syaz dan ‘illah sebagai unsur-unsur kaedah mayor kesahihan sanad hadis dimaksudkan sebagai penekanan dan sikap kehati-hatian semata. Sekiranya, benar dugaan bahwa kedua unsur tersebut memang merupakan unsur-unsur yang mandiri, terlepas dari ketiga unsur kaedah mayor yang lain, maka berarti ada sanad yang benar-benar bersambung dan diriwayatkan oleh para perawi yang benar-benar ‘adil dan dhabith ternyata masih mengandung syaz ataupun ‘illah. Hal ini menurut Syuhudi Ismail tidak mungkin terjadi. Sebab, sanad yang mengandung syaz dan ‘illah, penyebab utamanya ternyata ada yang karena tidak bersambung sanadnya atau tidak sempurna ke-dhabith-an perawinya.[11]
C.    Kritik Matan (Tekstual dan Kontekstual) Hadits Menurut Syuhudi Ismail
Dalam penelitian kritik matan hadits atau naqd matan tentulah tidak mudah. Dalam berbagai referensi, Syuhudi Ismail tidaklah membuat langkah metodologi penelitian matan. Dalam pembacaan Syuhudi Ismail, ada beberapa faktor yang menyebabkan kesukaran penelitian matan, diantaranya: adanya periwayatan Hadits secara makna; acuan yang digunakan sebagai pendekatan dalam penelitian matan tidak satu macam; latar belakang timbulnya petunjuk Hadits tidak selamanya dapat diketahui; adanya kandungan petunjuk Hadits yang berkenaan dengan hal-hal yang berdimensi “supra rasional”; dan masih kurangnya kitab-kitab yang secara khusus membahas penelitian matan Hadits.[12]
Dalam meneliti susunan lafaz barbagai matan yang semakna, Syuhudi Ismail memandang penting menggunakan metode perbandingan (muqaranah). Menurutnya, metode perbandingan dalam penelitian matan dan juga sanad, tidak hanya dimaksudkan sebagai upaya konfirmasi atas hasil penelitian yang telah ada saja, tetapi juga sebagai upaya lebih mencermati susunan matan yang lebih dapat dipertanggungjawabkan orisinalitasnya berasal dari Rasulullah Saw. Disamping itu, metode ini juga dapat membantu peneliti dalam mengidentifikasi kemungkinan adanya ziyadah, idraj, dan lain-lain yang dapat berpengaruh terhadap kehujahan matan hadis yang diteliti.[13]
Serangkaian ikhtiar Syuhudi Ismail dalam keilmuan Hadits, tentunya ingin memahamkan kembali sifat dasar ajaran Islam yang sesuai dengan segala tempat dan zaman, serta untuk semua umat manusia dalam segala ras dan generasinya. Dalam konteks itu, Syuhudi Ismail memandang masyarakat manusia pada setiap generasi dan tempat memiliki berbagai kesamaan dan juga perbedaan serta kekhususan. Jika ajaran Islam yang relevan dengan segala tempat dan zaman itu dihubungkan dengan berbagai kemungkinan persamaan dan perbedaan masyarakat tersebut, maka berarti dalam Islam ada ajaran yang berlaku tidak terikat oleh waktu dan tempat, disamping ada juga ajaran yang terikat oleh waktu dan atau tempat tertentu. Di sinilah kemudian Syuhudi Ismail menekankan adanya ajaran Islam yang bersifat universal, temporal, dan lokal.[14]
Menurut Syuhudi Ismail, keberadaan hadis Nabi yang mengandung petunjuk secara tekstual dan kontekstual tersebut pada dasarnya tidak terlepas dari kebijaksanaan Nabi di bidang dakwah dan dalam rangka penerapan tahapan-tahapan ajaran Islam. Kebijaksanaan Nabi yang demikian itu dapat dipahami juga sebagai petunjuk yang mengandung implikasi pemikiran tentang pentingnya peranan berbagai disiplin pengetahuan, baik yang telah dijangkau pengembangannya oleh ulama selama ini, maupun yang belum terjangkau.[15]
Lanjut Syuhudi menjelaskan, bahwasanya sebuah disiplin ilmu (termasuk Hadits) hendaklah berdialog dengan disiplin ilmu lainnya, yang tentunya bercorak humaniora (kemanusiaan) seperti Sosiologi, Antropologi, Psikologi, dan Sejarah. Hal ini sebagai pola sebuah metode pendekatan memahami ajaran Islam dalam nuansa teks dan konteksnya. Karena pada dasarnya pengetahuan senantiasa berkembang dan heterogenitas dalam setiap sudut problematika kemasyarakatan.[16]
Syuhudi Ismail membagi tipologi matan Hadits dalam beberapa klasifikasi, 1) Jawami` al Kalim atau ungkapan singkat namun padat makna, 2) Tamsil atau bahasa perumpamaan, 3) Ramzi atau ungkapan simbolik, 4) Dialog atau bahasa percakapan, dan 5) Qiyasi atau analogi.
1)      Jawami` al Kalim atau ungkapan singkat tapi padat makna
خدعه الحرب

 “Perang itu siasat”(H.R Bukhari, Muslim, dan lain-lain, dari Jabir bin `Abd Allah)
Penjelasan: Makna berdasarkan teks tersebut memberikan maksud bahwa setiap berperang Tentunya harus memerlukan sebuah strategi, agar tidak takluk pada lawan begitu saja.
مسكورحرامخمروكل مسكركل
“Setiap (minuman) yang memabukkan adalah khamar dan setiap (minuman) yang memabukkan adalah haram” (H.R Bukhari, Muslim, dan lain-lain, dari Ibnu Umar)
Penjelasan: Secara tekstual keharaman khamar tidak terikat tempat dan waktu.
2)      Tamsil atau bahasa perumpamaan
 تداعى عدو منه إذااشتكى الجسد مثل وتعاطفهم احمهم وتر هم توادفى منين المؤ مثل
والحمى بالسهر الجسد ساىٔر له
“Perumpamaan bagi orang-orang yang beriman dalam hal belas kasih, saling mencintai dan saling menyanyangi antara mereka adalah seperti tubuh. Apabila ada bagian tubuh yang sakit, maka seluruh tubuh akan merasakan keluhan, sehingga tidak dapat tidur karena rasa demam” (H.R. disepakati Bukhari dan Muslim, dari Nu`man bin Basyir)
Penjelasan : Makna teks ini sangat universal. Nilai yang diajarkan adalah semangat kolektivitas dalam menekankan tali persaudaraan antar muslim karena terikat kesamaan iman.
فر لكا وجية من المؤ سجين الدنيا
“Dunia itu penjaranya orang beriman dan surganya orang kafir” (H.R Muslim, al-Turmudzi, Ibn Majah, dan Ahmad bin Hambal, dari Abu Hurairah)
Penjelasan: secara tekstual hadits tersebut menjelaskan bahwasanya dunia adalah penjara bagi orang beriman. Karenanya, selama hidup orang beriman harus selalu dalam penderitaan dan balasannya ketika di akhirat baru mendapat kesenangan. Akan tetapi secara kontekstual bisa dipahami kata penjara (سجين) memberikan maksud pentunjuk adanya perintah berupa kewajiban dan anjuran. Bagi orang beriman kegiatan hidup di dunia tidak bebas layaknya hidup di penjara.
3)      Ketiga, Ramzi atau ungkapan simbolik
Sebagaimana dalam Al-Qur’an, hadits juga dikenal adanya ungkapan yang berbentuk simbolik. Penetapan bahwa suatu ayat ataupun suatu hadits yang berbentuk simbolik adakalanya mengundang perbedaan pendapat. Bagi yang berpegang secara tekstual, maka ungkapan yang bersangkutan dinyatakan bukan sebagai simbolik. Contoh hadits tentang ususnya orang mukmin dan orang kafir: “Orang yang beriman itu makan dengan satu usus.” (HR. Al-Bukhari, Al-Turmudzi, dan Ahmad, dari Ibnu Umar).
Maksud dari hadits di atas adalah secara tekstual hadits tersebut menjelaskan bahwa ususnya orang yang beriman berbeda dengan ususnya orang kafir. Padahal dalam anatomi tubuh manusia tidak disebabkan oleh perbedaan iman. Dengan demikian, hadits tersebut berarti harus dipahami seccara kontekstual, karena perbedaan usus dalam menghadapi matan hadits menunjukkan perbedaan sikap atau pandangan dalam menghadapi nikmat Allah, termasuk tatkala makan. Orang yang beriman memandang makan sebagai bagian dari tujuan hidupnya. Dengan kata lain, dapat dipahami bahwa orang beriman selalu bersyukur atas nikmat Allah. Sedangkan orang kafir malah mengingkari nikmat yang telah Allah karuniakan kepadanya.[17]

4)      Dialog atau bahasa percakapan
Dalam hal ini berkaitan dengan kehidupan Rasul yang pada saat itu, yang mana beliau hidup di tengah-tengah masyarakat, oleh karenya cukup banyak hadits yang mengandung percakapan diantaranya tentang amalan utama: “Hadits Riwayat Abdullah bin Mas’ud dia berkata: “Saya bertanya kepada Nabi SAW, ‘Amal apakah yang lebih disukai Allah?’, Beliau menjawab: ’Salat pada waktunya’, Dia bertanya lagi: ‘Kemudian apa lagi?’, Beliau menjawab: ‘Berbakti kepada kedua orang tua’, Dia bertanya lagi: ‘kemudian apa lagi?’, Beliau menjawab: ‘Jihad di jalan Allah’. Dia berkata bahwa beliau (Nabi) telah mengemukakan kepada saya amal-amal yang utama itu. Sekiranya saya meminta untuk ditambah lagi kepada beliau (tentang amal ang utama itu), niscaya beliau akan menambahkannya lagi (untuk memenuhi permintaan saya itu).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, dan lain-lain).
Matan hadits yang dikutip memiliki makna bahwa amal yang utama itu bermacam-macam. Pertanyaan-pertanyaan yang sama ternyata dapat saja mendapat jawaban yang berbeda-beda karena perbedaan materi. Jawaban yang diberikan tidaklah subtantif yang memiliki dua kemungkinan, yaitu relevansi antara keadaan kelompok masyarakat tertentu dengan materi jawaban yang diberikan. Dan jawaban-jawaban dari Nabi terebut brsifat temporal ataupun kondisional, dan bukan universal.[18]

5)      Qiyasi atau analogi.
المصورون مة القيا يوم اللهعند انا عذ الناس أشد إن
“Sesungguhnya orang-orang yang menerima siksaan paling dahsyat di hadirat Allah adalah pada hari kiamat adalah para pelukis”. (H.R Muslim dari Abu Dzar)
Penjelasan: Secara tekstualis, tentunya bagi para pelukis mendapatkan siksaan. Akan tetapi hadits ini mempunyai illat hukumnya. Illat hukumnya adalah kemusyrikan orang-orang dahulu yang mudah percaya kepada hasil gambar yang bernyawa. Tetapi, dalam konteks sekarang fungsi para pelukis adalah sebuah nilai estetika, misalnya dalam menghiasi rumah atau sejenisnya, tanpa ada kemusyrikan. Maka, indikasi hukum tersebut tidak berlaku sekarang.
DAFTAR PUSTAKA

Ismail M. Syuhudi. Hadits Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani Al-Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal. Jakarta: Bulan Bintang. 1994.
_______________. Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
_______________. Kaedah Kesahihan Hadits, Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988.
Kurdi, dkk. Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadits. Yogyakarta: Elsaq Press. 2010
Roziqin, Badiatul, dkk. 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia. Yogyakarta: e-Nusantara. 2009.
Soetari, Endang. Ilmu Hadits. Bandung: Amal Bakti Press 2001.
Zulfahmi Alwi, Pemikiran Hadits Muhammad Syuhudi Ismail, Jurnal Al-Fikr Vol. 16 No. 2 Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar tahun 2012.
Jumardi, Pemikiran Hadits Prof. Dr. H.M. Syuhudi Ismail, (http://ushuluddin-uinsuska.blogspot.com/2011/11/pemikiran-hadits-prof-dr-hm-syuhudi.html. 2011), diakses pada 13 Oktober 2015.









[1]Kurdi, dkk., Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadits, (Yogyakarta: Elsaq Press. 2010), hlm. 366-367.

[2] Badiatul Roziqin, dkk., 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia, (Yogyakarta: e-Nusantara. 2009), hlm. 281.

[3]Zulfahmi Alwi, Pemikiran Hadits Muhammad Syuhudi Ismail, Jurnal Al-Fikr Vol. 16 No. 2 Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar tahun 2012.

[4] Badiatul Roziqin, dkk., op. cit.,hlm. 282.

[5] Kurdi, dkk., op. cit., hlm. 369.

[6]Jumardi, Pemikiran Hadits Prof. Dr. H.M. Syuhudi Ismail, (http://ushuluddin-uinsuska.blogspot.com/2011/11/pemikiran-hadits-prof-dr-hm-syuhudi.html. 2011), diakses pada 13 Oktober 2015.

[7] Badiatul Roziqin, dkk., loc. cit., hlm. 285.

[8] M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Hadits, Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), hlm. 9.

[9] H. Endang Soetari, Ilmu Hadits, (Bandung: Amal Bakti Press, 2001), hlm. 140.

[10] M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Hadits, Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, op.cit., hlm. 132.

[11] Ibid, hlm. 132-133.
[12] M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), hlm. 121.

[13] Ibid, hlm. 134-135.

[14] M. Syuhudi Ismail, Hadits Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma`ani al-Hadits tentang ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), hlm. 3.
[15] Ibid, hlm. 6.

[16] Ibid, hlm. 90.
[17] Ibid., hlm. 25.

[18] Ibid., hlm. 30.

1 komentar:

Penusukan Syekh Al Jabir

  Penulis Kontributor Lampung, Tri Purna Jaya | Editor David Oliver Purba LAMPUNG   KOMPAS.com – Ulama dan pendakwah Syekh Ali Jaber meminta...