BAB I
PENDAHULUAN
Sejarah merupakan suatu
rujukan yang sangat penting untuk mewujudkan masa depan yang lebih baik.
Berkaitan dengan itu kita bisa mengetahui kejadian-kejadian yang terjadi pada
masa lalu, terutama bagi umat Islam. Perkembangan Islam pada masa Nabi Muhammad
Saw melalui berbagai macam cobaan dan tantangan yang dihadap untuk
menyebarkannya. Islam berkembang dengan pesat hampir semua lapisan masyarakat
dipegang dan dikendalikan oleh Islam. Hal itu tentunya tidak terlepas dari para
pejuang yang sangat gigih dalam mempertahankan dan juga dalam menyebarkan Islam
sebagai agama Tauhid yang diridhoi. Perkembangan Islam pada zaman inilah
merupakan titik tolak perubahan peradaban kearah yang lebih maju. Maka tidak
heran para sejarawan mencatat bahwa Islam pada zaman Nabi Muhammad SAW
merupakan Islam yang luar biasa pengaruhnya.[1]
Sosok manusia
terpopuler sepanjang masa telah lahir di padang pasir tandus menjelang akhir
abad keenam Masehi. Namanya paling banyak disebut, dan tak tertandingi oleh
tokoh dunia manapun di muka bumi. Keluhuran budi pekertinya menjadi suri
teladan bagi siapa pun yang mendambakan kedamaian dan kebahagiaan. Ajaran yang
dibawanya menjadi obor penerang bagi setiap pencinta kebenaran. Beliau adalah
Nabi terkahir yang diutus Tuhan kepada umat manusia an menjadi penyempurna dari
ajaran-ajaran yang dibawa oleh Nabi-nabi Allah terdahulu. Beliau lahir di
tengah-tengah masyarakat Arab jahiliyah yang menjadikan nafsu sebagai panglima,
mempertuhan materi dan kekayaan serta membanggakan nasab dan keturunan. Di
tengah-tengah masyarakat yang meraba-raba dalam kegelapan moral yang pekat,
beliau nyalakan pelita kebenaran. Beliau damaikan suku-suku yang bermusuhan dan
dipersatukannnya pula kabilah-kbilah yang terperangkap dalam kotak-kotak ashabiah
yang berserakan dan menyesatkan ke dalam sebuah keluarga besar “Islam”. Dua
puluh tahun lebih beliau bekerja keras dan akhirnya berhasil.[2]
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Masyarakat
Arab Sebelum Islam
1.
Kondisi Politik
Bangsa Arab sebelum Islam, hidup
bersuku-suku (kabilah-kabilah) dan berdiri sendiri-sendiri. Satu sama lain
kadang-kadang saling bermusuhan. Mereka tidak mengenal rasa ikatan nasional.
Yang ada pada mereka hanyalah ikatan kabilah. Dasar hubungan dalam kabilah itu
ialah pertalian darah. Rasa asyabiyah (kesukuan) amat kuat dan mendalam
pada mereka, sehingga bila mana terjadi salah seorang di antara mereka
teraniaya maka seluruh anggota-anggota kabilah itu akan bangkit membelanya.
Semboyan mereka “ Tolong saudaramu, baik dia menganiaya atau dianiaya “.[3]
Kekuasaan yang berlaku
saat itu adalah sistem diktator.
Banyak hak yang terabaikan. Rakyat bisa diumpamakan sebagai ladang yang harus
mendatangkan hasil dan memberikan pendapatan bagi pemerintah. Lalu para pemimpin
menggunakan kekayaan itu untuk foya-foya, sedangkan rakyat dengan kebutaan
semakin terpuruk dan dilingkupi kezhaliman dari segala sisinya.[4]
2.
Kondisi Masyarakat
Secara garis besar, kondisi masyarakat mereka bisa
dikatakan lemah dan buta. Kebodohan mewarnai segala aspek kehidupan, khurafat tidak bisa dilepaskan, manusia
hidup layaknya binatang. Wanita diperjual-belikan dan kadang-kadang
diperlakukan layaknya benda mati. Hubungan di tengah umat
sangat rapuh dan gudang-gudang pemegang kekuasaan dipenuhi kekayaan yang
berasal dari rakyat, atau sesekali rakyat dibutuhkan untuk menghadang serangan
musuh.[5]
3.
Sistem Kepercayaan dan Kebudayaan
Semua gambaran agama dan kebiasaan masyarakat Arab adalah syirik dan
penyembahan terhadap berhala menjadi kegiatan sehari-hari, keyakinan terhadap
hayalan dan khurafat selalu menyelimuti kehidupan mereka. Begitulah agama dan
kebiasaan mayoritas bangsa Arab masa itu. Sementara sebelum itu sudah ada agama
Yahudi, Masehi, Majusi, dan Shabi’ah yang masuk kedalam masyarakat Arab.
Tetapi itu hanya sebagian kecil oleh penduduk Arab. Karena kemusyrikan dan
penyesatan aqidah terlalu berkembang pesat.[6]
Kepercayaan bangsa Arab sebelum
lahirnya Islam, mayoritas mengikuti dakwah Isma’il Alaihis-Salam, yaitu
menyeru kepada agama bapaknya Ibrahim Alaihis-Salam yang intinya menyeru
menyembah Allah, mengesakan-Nya, dan memeluk agama-Nya.[7]
B. Peradaban Islam pada Masa Nabi
Nabi
Muhammad Saw dilahirkan pada tahun gajah,
tahun ketika pasukan gajah Abrahah menyerang Mekkah untuk menghancurkan
Ka’bah, namun mengalami kehancuran. Peristiwa itu kira-kira terjadi pada tahun
570 M (Rabiul Awal). Dalam kebiasaan di antara orang-orang kaya dan bangsawan
Arab bahwa ibu-ibu tidak mengasuh anak-anak mereka, tetapi mereka mengirim
anak-anak ke pedesaan untuk diasuh dan
dibesarkan disana. Begitu juga dengan Muhammad ketika kecil, setelah diasuh
beberapa lama oleh ibunya, kemudian dia dipercaykan kepada Halimah dari suku
Bani Sa’ad untuk diasuh dan dibesarkan hingga berusia 6 tahun ketika Muhammad
dikembalikan kepada ibunya, Aminah. Pada saat itu Ibunya bermaksud menziarahi
makam suamianya di Madinah. Namun ditengah perjalanan, yaitu di Abwa,
Aminah menderita sakit dan menghembuskan nafas yang terakhir di sana. Dengan demikian,
pada usia 6 tahun Muhammad sudah kehilangan kedua orang tuanya.[8]
Sekarang
mengasuh dan memeliharan Muhammad adalah kakeknya, Abdul Muthalib. Baru saja
dua tahun berada di bawah asuhan kakeknya, Abdul Muthalib meninggal dunia.
Dengan demikian, pada usia 8 tahun, yang menjadi wali Muhammad adalah pamannya
yang bernama Abu Thalib.[9]
Abu
Thalib sudah merasakan kekagumannya terhadap kepribadian Muhammad yang baik
sejak masa mudanya. Dalam usia masih muda perilakunya sering menunjukan
kepribadian yang terpuji. Dalam usia 12 tahun Muhammad diajak dalam perjalanan
niaga oleh Abu Thalib ke Siria. Dalam perjalanan itu Abu Thalib mendapat
beberapa gejala supranatural pada diri Muhammad, rombongan perjalanan atau
kafilah ke Siria yang dipimpin oleh Abu Thalib tampaknya menjadi perhatian dari
kejauhan oleh seorang pendeta Nasrani bernama Buhairah. Dari rumah kediamannya
pendeta itu melihat keanehan gejala alam pada kafilah itu. Seolah-olah
rombonghan itu selalu dinaungi awan, sehingga tidak merasakan panas terik cuaca
padang pasir. Oleh karenanya kafilah itu dihentikan olehnya sebelum memasuki
kota, untuk singgah di komples kediaman pendeta. Pendeta itu sangat tertarik
pada kehadiran Muhammad dalam rombongan itu. Ternyata dia melihat tanda
kenabian di punggungnya. Segera si pendeta
itu menceritakan hal itu kepada Abu Thalib, dan memintanya agar lebih
hati-hati merawat dan mendidik Muhammad.[10]
Reputasi
Muhammad muda sebagai orang bijak, dapat dipercaya, maupun pengalaman mengikuti
pamannya., Abu Thalib. Dalam perjalanan niaga, menarik perhatian seorang wanita
karir. Dialah Khadijah binti Khuwailid, janda berumur 40 tahun, yang
membutuhkan seorang mitra niaga. Kesuksesan Muhammad sebagai mitra dagang bukan
saja menyenangkan karir dagang Khadijah karena mampu memajukan usaha dagangnya,
melainkan juga menimbulkan kekagumannya sebagai seorang perempuan.[11]
Khadijah mengajukan lamaran kepadanya untuk menikah. Abu Thalib menyetujui, dan
merekapun menikah. Pada saat menikah dikabarkan bahwa Khadijah berusia 40 tahun
dan Muhammad berusia 25 tahun. Muhammad memperoleh tiga orang anak laki-laki
dan empat orang anak perempuan. Semua anak laki-laki itu meninggal dunia ketika
masih bayi, tetapi anak-anak yang perempuan hidup hingga dewasa.[12]
Menjelang
usia 40 tahun Muhammad mulai menunjukkan kegelisahan nurani, sebagai akibat
penghayatannya terhadap kehidupan setriap malam dengan hati gelisah Muhammad
melakukan tahannus atau perenungan di tempat sepi, yaitu Gua Hira di
Jabal Nur di pinggir kota Mekkah. Bila gelap mulai tiba dia menuju Jabal Nur,
dan kembali ketika fajar telah menyingsing. Upaya itu menghasilkan sesuatu.
Pada suatu malam Muhammad kedatangan suatu makhluk yang belum pernah dijumpai.[13]
Dia mengaku sebagai Malaikat Jibril, sebari mengatakan Iqra yang berarti
“Bacalah”.
Ma
ana bi qori atau ”Aku tidak bisa baca tulis”, jawab Muhammad
terbata-bata. Ketika perintah itu diulang kembali. Muhammad pun kembali
menyatakan bahwa dia tidak bisa membaca. Kemudia Jibril memeluknya erat-erat
dan berkata “Iqra bismirobbikaalladzi khalaq. Khalaqal insanaa min
alaq ....”, sampai beberapa ayat seperti tertera dalam Surat Al-Alaq Ayat
1-5. Muhammad tidak menyadari bahwa dia dengan demikian telah terpilih untuk
menerima wahyu dari Allah berupa ajaran agama Islam. Dengan gemetaran dia
kembali ke rumah, dan mengadukan pengalaman rohaninya yang amat sensasional
intu kepada Khadijah. Dalam keadaan terkejut itu Muhammad meminta istrinya
untuk menyelemuti tubuhnya yang mengigil bagai orang kedinginan.[14]
Belum
lagi Muhammad mampu menenangkan diri tiba-tiba dia mendengar suara bagai bunyi
genta. Rasanya dia mulai mengenali bakal datangnya kembali Jibril. Kemudia
terdengar suara:
$pkr'¯»t ãÏoO£ßJø9$# ÇÊÈ óOè% öÉRr'sù ÇËÈ y7/uur ÷Éi9s3sù ÇÌÈ y7t/$uÏOur öÎdgsÜsù ÇÍÈ ..... “
Bunyi itu tertera dalam Qur’an
Surah Al-Mudatstsir, yang berarti “Hai orang yang berselimut, bangunlah,
lalu berilah peringatan, dan bersihkan pakaianmu, dan Tuhanmu agungkanlah
....”
1.
Tantangan
dan Kendala Dakwah Islamiyah Di Mekkah
Perjuangan Nabi Muhammad Saw.
Melakukan dakwah Islamiyah dalam menyebarkan akidah baru menghadapi perlawanan
sengit dari kaum Quraisy. Mereka mengembangkan sikap permusuhan terhadap
kehadiran agama baru yang dibawa Nabi. Orang Quraisy itu berusaha sekuat tenaga
untuk menghalangi dakwah atau penyebaran ajaran baru. Mereka melakukan
pengejaran dan penghukuman terhadap para pengikut Nabi Muhammad Saw. Penolakan
kaum Quraisy terhadap ajaran Nabi Muhammad sebetulnya buka karena menolak
subtansi ajaran itu. Mereka pada dasarnya sudah mengenal Allah sebagai Tuhan
Pencipta. Para analis sosial beranggapan bahwa penolakan atas gerakan dakwah
Nabi Muhammad Saw. Berlatang belakang kepentingan sosial. Mereka merasa
khawatir kalau posisi, gengsi sosial dan kepentingan para pemimpin Quraisy
terganggu kalau menerima Islam. Mereka beranggapan kalau Muhammad diterima
sebagai Nabi berarti diakui kehadiran Muhammad sebagai pemimpin baru. Ini
berarti posisi sosial mereka bakal terganggu dan dikhawatirkan berdampak pada
merosotnya kepentingan ekonomi mereka. Atas dasar itulah para pembesar Quraisy
melakukan perlawanan terhadap kehadiran Islam.[15]
Untuk mencegah terjadinya
pengejaran dan tindakan penghukuman berkepanjanagan terhadap para pengikutnya,
Nabi memerintahgkan agar beberapa pengikutnya melakukan hijrah ke Abesinia.
Negeri itu dipilih karena negeri di Pantai Timur Afrika diperintah oleh seorang Negus, seorang penguasa beragama Nasrani.
Perlu diketahui orang Nasrani di Mekkah tidak bersikap bermusuhan terhadap
persebaran agama Islam. Kemudian setelah keadaan di Mekkah aman para pengungsi
muslim itu kembali ke kampung halaman. Meskipun demikian mereka masih melakukan
kegiatan dakwah Islam secara sembunyi-sembunyi.[16]
Di pada saat terjadinya peristiwa
pengungsian muslimin ke Abesinia tersebar kabar bahwa Nabi pernah menyatakan
bahwa ada dua orang tokoh yang amat membantu keberhasilan dahwah Islamiyah,
kalau mereka masuk Islam, yaitu Umar bin Khattab dan Abu Sufyan. Alasanya
karena Umar bin Khattab dianggap memiliki keberanian maupun kemampuan dana
untuk melawa serangan dan penindasan kaum Quraisy terhadap kaum muslimin.
Sementara itu Abu Sufyan yang memliki posisi sosial tinggi dalam masyarakat
Quraisy dan memiliki kekuatan dana dianggap dapat menolong persebaran Islam.
Itu sebabnya keduanya diharapkan menjadi andalan kalau masuk Islam.[17]
Pada suatu saat waktu Umar bin Khattab tampil
garang dengan pedang terhunus di tangan kanan. Wajahnya merah padam menunjukkan
kegeraman hatinya dia bergegas menuju suatu tempat yang diduga
menjadi tempat Nabi Muhammad Saw. Sedang mengajarkan agama kepada para pemeluk
baru. Di saat itulah seorang temannya dengan terheran-heran menanyakan ke mana
maksud kepergian Umar bin Khattab. Ketika mendapat jawaban tentang maksud
tujuan Umar bin Khattab hendak melabrak Nabi Muhammad Saw. Teman itu berkata
“Umar, kenapa anda repot-repot akan menghukum orang lain, semetara adik
perempuan anda semdiri sudah masuk Islam. Saat ini dia sedang mengaji Qur’an.”[18]
Mendengar perkataan temannya Umar
bin Khattab segera berbalik arah untuk menuju rumah adiknya. Sesampai di rumah
adiknya Umar bin Khattab menyaksikan adiknya sedang dengan khusuk membaca sebuah
ayat. Tanpa banyak bicara Umar bin Khattab segera merebut lembaran itu dan
bagai orang terkena hipnotis Umar bin Khattab yang perkasa tangannya spontan
kaku memegang lembaran itu kemudian pelan-pelan diturunkan. Dan kemudian Umar
berkata “Cepat antarkan aku ke Muhammad”, sambil bergegas meninggalkan rumah
adiknya.[19]
Secara reflek para pemuda dengan
tubuh tegap segera berdiri mengelilingi Nabi Muhammad Saw. Ketika menyaksikan
Umar bin Khattab sudah berada di ruang tempat tempat Nabi mengajarkan agama.
Belum ada yang berani membuka mulut untuk menanyakan maksud kedatangan Umar bin
Khattab, lalu Umar bin Khattab berkata “Tidak usah cemas. Aku mau masuk Islam”.
Kemudia Umar bin Khattab menyatakan ikrar kesaksiannya di hadapan Nabi.[20]
Sesuai dengan yang diharapkan Nabi
Muhammad Saw. sejak Umar bin Khattab masuk Islam masyarakat muslim sepertimen
dapat semangat baru. Mereka mulai berani
terang-terangan mengajarkan Islam. Semakin banyak kaum tertindas dan masyarakat
dari kalangan sosisal rendah terang-terangan
masuk Islam.[21]
Tidak dapat disangkal bahwa peran
Abu Thalib juga besar dalam pertumbuhan Islam. Sebagai orang yang dituankan dan
dihormati dalam masyarakat Quraisy dia tetap disegani para pembesar Quraisy.
Sehingga selagi Abu Thalib masih hidup orang-orang Quraisy masih tetap enggan
untuk memusnahkan Nabi Muhammad dan pengikutnya. Oleh karenanya berbagai upaya
dilakukan oleh mereka untuk mematahkan semangat perjuangan Nabi Muhammad
termasuk dengan sarana bujukan dan rayuan misalnya pernah ditawarkan lewat Abu
Thalib agar Nabi mau menghentikan dakwah Islamnya dengan iming-iming harta,
kedudukan sosial, maupun kenikmatan lainnya.[22]
Malang tidak dapat ditolak, untuk
tidak dapat diraih, begitu kata pepatah. Demikian juga dengan nasib Nabi
Muhammad Saw. pada tahun ke-10 kenabian, pamannya Abu Thalib meninggal dunia.
Belum lama setelah pamannya meninggal Nabi harus mengalami kesedihan
berikutnya. Khadijah, istri tercinta harus pula menghadap Tuhan. Kematian
mereka itu menimbulkan masa sulit yang baru. Kaum Quraisy melipatgandakan
penyiksaan mereka.[23]
2.
Hijrah
Ke Madinah
Kata Hijrah tidak berarti lari
akan tetapi terjemahannya yang paling
tepat adalah pindah.[24]
Karena tidak tahan terhadap kekejaman-kekejaman dan kebencian-kebencian
yang brutal dari orang-orang senegeri dan marganya sendiri, Nabi mengalihkan
perhatiannya untuk mencari tempat baru.[25]
Nabi memutuskan untuk berhijrah ke Madinah dengan beberapa alasan. Pertama, tawaran
dan undangan kepada Nabi untuk berhijrah ke Madinah, yang selanjutnya dapat
dianggap sebagai pusat penyiaran Islam. Kedua, situasi keamanan Mekkah
tidak menguntungkan bagi kaum muslimin, karena makin besarnya tekanan kaum
Quraisy. Ketiga, yang merupakan faktor paling menentukan, yaitu wahyu
untuk melakukan hijrah.[26]
Jauh sebelum peristiwa hijrah
dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya, sejumlah pemimpin kabilah di Madinah
dari Bani Khuraedhoh dan Bani Khujroj pernah mendatangi Rasul. Mereka
menyatakan bahwa masyarakat Madinah sanggup melindungi keselamatan pribadi
Rasul maupun para pengikut Islam. Karena itu, mereka menghendaki pemeluk Islam
pndah memulai hidup baru di Madinah. Para pengungsi itu kemudian dikenal
sebagai kaum Muhajirin, yaitu mereka yang melakukan hijrah atau berpindah
tempat ke Madinah dengan alasan keamanan.[27]
Keadaan Madinah sebelum datangnya
Nabi Muhammad di sana samahalnya dengan keadaan di Mekkah. Pelanggaran hukum
merupakan keadaan sehari-hari. Suku-suku yang tinggal di sana berperang satu
sama lain. Sebelum kedatangan Nabi, Madinah terutama didiami oleh dua suku,
yaitu susku Aus dan Kharaj. Selama lebih dari satu abad mereka dalam keadaan
siap tempur dan hidup dalam suasana perang yang tiada henti-hentinya. Mereka
sangat letih karena peperangan yang berkepanjangan dan menghancurkan itu. Oleh
karena itu mereka sangat memerlukan perdamaian dan kemanan karena, tanpa hal itu, pertanian, perdagangan, dan bahkan
kehidupan normal mereka hampir terhenti. Sebaliknya, orang-orang Yahudi adalah
orang-orang yang paling bersatu, paling makmur, dan paling berbudaya di Jazirah.[28]
Selama periode Madinah dakwah
Islamiyah hanya berpusat pada penanaman akidah yang berinti pada ketauhidan
atau prinsip keesaan Tuhan. Sikap utamna yang ditanam hanyalah meyakini keesaan Allah dan kenabian Muhammad, yang
diikrarkan dalam wujud syahadat. Selama periode itu, syariah Islam belum
mengajarkan berbagai cara kepribadian.
Periode ini ditandai dengan pengenalan awal berbagai sisi lain syariah
Islam yang berupa peribadatan, seperti salat, puasa, zakat, maupun haji.[29]
Ketika sampai di Madinah Nabi
dielu-elukan kedatangannya. Baik para sahabat Ansor maupun Muhajirin menyambut
kehadiran itu dengan nyanyian dan tari. “Tola’al badrun ‘alaina”. Telah
terbitr rembulan di atas kita. “Marhaban, ya Nabi”. Selamat datang ya Nabi. Mereka mempersilahkan Nabi mencari tanah
untuk membangun mesjid. Akhirnya ditemukan suatu tempat untuk didirikan mesjid,
yang sekaligus menjadi rumah kediaman Nabi
dan keluarga. Mesjid itu kemudian disebut Mesjid al Nabawi
(Masjidun Nabawi) atau Mesjid Nabi.
Kepada kaum muslimin juga dikenakan kewajiban bela negara ketika masyarakat
dalam bahaya, yang disebut syariat jihat fi sabilillah atau berjuang di jalan
Allah atau menegakkan kebenaran.[30]
Berbagai jenis syariah ibadah itu
mulai disosialisasikan bagi masyarakat atau umat muslim dalam periode Madinah.
Sebetulnya buka aspek peribadatan formal itu saja yang dilaksanakan dalam
periode itu. Kepada mereka juga mulai diaktualisasikan ajaran Islam dalam hidup
kemasyarakatan, termasuk kegiatan politik. Salah satu wujudnya adalah
memberlakukan konsep masyarakat madani yang berdasar “Piagam Madinah”, sebagao
konsep dasar bagi pengembangan hidup dalam masyrakat majemuk. Yang dimaksud
dengan Piagam Madinah adalah semacam undangan-undangan tidak tertulis yang mengatur
berbagai bentuk hubungan antarwarga yang majemuk. Seperti diketahui masyarakat
Madinah terdiri dari kaum Muhajirin (semacam non-pribumi) dan kaum Ansor.[31]
Ketika Nabi Muhammad Saw. diangkat menjadi kepala negara Nabi mempersaudarakan
kaum Muhajirin dengan kaum Ansor, persaudaraan berdasarkan agama sebaghai basis
warga negara.[32]
a.
Perlawana
Kaum Yahudi
Tidak dapat disangkal masyarakat
madani yang sedang dibangun oleh Nabi Muhammad Saw. tidak berjalan dengan
mulus. Di sana sini telah terjadi perlawanan terhadap kehadiran masyarakat yang
dibangun Nabi Muhammad Saw. Perlawanan yang cukup berarti datang dari kaum
Yahudi. Alasan kuat kaum Yahudi melakukan perlawanan adalah karena kekhawatiran
tergesernya kedudukan kaum elite Yahudi dalam masyarakat baru tersebut.
Sebagaimana kita ketahui orang Yahudi sebelum agama Islam lahir telah lama
tinggal di Madinah. Menghadapi keadaan itu kaum muslimin tidak tinggal diam,
lebih-lebih setelah turun wahyu “Perangilah di jalan Allah olehmu orang-orang
yang memerangi kamu, dan jaganlah kamu melampaui batas”. Pertempuran itu
dilakukan dengan semangat wahyu
tersebut, dan berhasil mengusir kaum Yahudi.[33]
b.
Perang
Badar
Kaum Quraisy di Mekkah merasa tidak
senang menyaksikan para pelarian dari Mekkah, yaitu kaum muslimin di bawah Nabi
Muhammad, mulai mapan membentuk masyarakat madani. Kaum Quraisy merancang
penyerangan terbuka terhadap kaum muslimin di Madinah. Langkah pertama yang
dilakukan adalah mengambil alih semua harta kaum muslimin yang ditinggal di
Mekkah. Tindakan itu dibalas oleh kaum
muslimin dengan menghalangi jalur perdagangan Siria ke Mekkah lewat Madinah hal
itu membuat orang Quraisy marah.
Kemudian mereka meminta bantuan dari induknya di Mekkah. Segera mereka
menyiapkan penyerangan tentara ke Madinah dengan kekuatan tentara sebanyak 1000
orang. Untuk menghadapi pasukan besar
itu kaum muslimin hanya mampu mengerahkan 300 pasukan. Meskipun demikian dengan
pertolongan Allah pasukan musuh dapat diusir dan dikalahkan. Pertempuran itu
dikenal dengan nama Perang Badar, karena berlangsung di sekitar Bukit Badar.
Dengan kemenangan itu kaum muslimin makin mantap dengan keimanan mereka pada
pertolongan Allah.[34]
c.
Perjanjian
Hudaibiyah
Kira-kira satu tahun lamanya tanpa
ada pertikaian senjata di antara kedua kubu yang bermusuhan. Kaum muslimin
menduga keadaan sudah aman. Oleh karenanya pada suatu hari kaum muslimin
sebanyak 1400 orang dibawah pimpinan Nabi bergerak melakukan perjalanan ziarah
ke Tanah Haram untuk menunaikan ibadah haji. Peristiwa itu terjadi pada tahun
ke-6 hijriah, bertepatan dengan tahun 682 Masehi. Ketika berita sampai pada
kaum Quraisy di Mekkah segera mereka menghalangi, karena dikira akan melakukan
penyerangan ke Mekkah.
Kemudian dilakukan perdamaian di
antara dua pasukan itu. Mereka menandatangani kesepakatan damai yang kemudian
dikenal sebagai Perjanjian Hudaibiyah, yaitu berisi pasal-pasal perjanjian
antara lain:[35]
1. Kaum muslimin harus kembali ke Madinah dan tidak melaksanakan ibadah haji
tahun ini
2. Kaum muslimin baru boleh menunaikan ziarah ke Tanah Haram tahun depan, dan
itu pun hanya boleh tinggal di Mekkah selama tiga hari.
3. Selama 10 tahun kedua belah pihak tidak akan melakukan peperangan dan akan
hidup berdampingan secara damai.
4. Bila orang-orang Mekkah menyebrang ke Madinah mereka harus dikembalikan ke
Mekkah, sebaliknya bila orang Madinah menyebrang ke Mekkah mereka tidak akan
dikembalikan ke Madinah.
5. Orang-orang Arab bebas untuk memilih akan bergabung ke pihak Quraisy atau
Nabi Muhammad.
Mula-mula para sahabat Nabi merasa bahwa Nabi
Muhammad telah terjebak dengan isis perjanjian itu. Lebih-lebih dengan isi
pasal 4. Namun kemudian para sahabat akhirnya mengakui kelihaian Nabi dalam
berdiplomasi, dijelaskan oleh Nabi, bahwa pasal itu memiliki makna dakwah yang
efektif. Kalau penduduk Mekkah datang ke Madinah dan harus harus diekstradisi,
mereka bakal mengenal dari dekat kualitas masyarakat madani di Madinah. Kalau
mereka akhirnya kembali ke Mekkah mereka ibarat menjadi juru bicara masyarakat
madani yang dikembangkan Nabi secara gratis. Sebaliknya orang-orang Madinah
yang datang ke Mekkah, dan mereka tidak boleh kembali ke Madinah, mereka akan
menjadi juru dakwah di Mekkah, tanpa batas waktu.[36]
d. Futuhul Mekkah
Dua tahun setelah penandatanganan
Perjanjian Hudaibiyah pasukan sebesar 10.000 muslimin ke Mekkah untuk merebut
Mekkah yang dianggap memiliki makna politik dan intelektual tinggi. Dengan
menduduki kembali Mekkah berarti kaum muslimin telah mendapat legalitas sebagai
penguasa Arab. Berita kehadiran pasukan Islam yang dipimpin Nabi itu mempunyai
tekanan psikologis kuat bagi penduduk Mekkah denganserta merta penduduk Mekkah
yang gemetar hati itu untuk menyerah diri tanpa perlwanan sehingga tidak tidak
setetespun darah keluar, apalagi mengalir sebagai akibat kontak senjata hal ini
dikenal dengan istilah Futuhul Mekkah atau jatuhnya kota Mekkah.[37]
BAB III
PENUTUPAN
§
Kesimpulan
Dari pembahasan yang
telah disebutkan dapat disimpulkan bahwa sejarah peradaban Islam dimasa Nabi
Muhammad Saw banyak melewati rintangan-rintangan dan penganiayaan diluar batas
manusia. Namun demikian orang muslim selalu bersabar dan istiqamah di
jalan-Nya. Begitu juga dengan Nabi Muhammad Saw selalu bersabar dan istiqamah
dalam menyiarkan agama islam dari periode Mekkah hingga Periode Madinah.
Nabi Muhammad Saw bukan hanya sebagai seorang Rasulullah yang di utus untuk
menyebarkan ajaran Islam, melainkan juga sebagai pemimpin negara yang pandai
dalam berpolitik, sebagai seorang panglima perang serta seorang administrator
yang cakap, hanya dalam waktu kurun waktu singkat Rasulullah bisa menaklukkan
seluruh Jazirah Arab.
Pada akhirnya,
perjuangan Nabi Muhammad Saw. membuahkan hasil, yaitu berkembangnya islam
dengan pesat, tidak hanya di Madinah bahkan di Mekkah juga, yang ditandai
dengan terjadinya peristiwa Fathul Mekkah.
DAFTAR PUSTAKA
Affandi, Adang,
Islam Konsep dan Sejarahnya, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1994.
Baehaqi, Imam, Asal
Usul dan Perkembangan Islam, cet. 1, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset,
1999.
Effendi,
Djohan, Muhammad: Nabi dan Negarawan, Jakarta: Kuning Mas, 1984.
Su’ud, Abu, Islamonologi:
Sejarah, Ajaran, dan Perannya Dalam
Peradaban Umat Manusia, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003.
Sunanto,
Musyrifah, Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam,
Jakarta: Prenada Media, 2003.
[1] Abu
Su’ud, Islamonologi: Sejarah, Ajaran, dan Perannya Dalam Peradaban Umat Manusia, (Jakarta:
PT Rineka Cipta, 2003), cet. 1, h. 55.
[3] Imam Baehaqi, Asal
Usul dan Perkembangan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1999),
cet. 1, h. 47.
[10] Abu Su’ud, Islamonologi: Sejarah, Ajaran, dan Perannya Dalam Peradaban Umat Manusia, op.cit.,
h. 22-23.
[13] Abu Su’ud, Islamonologi:
Sejarah, Ajaran, dan Perannya Dalam
Peradaban Umat Manusia, op.cit., h. 25.
[26] Abu Su’ud, Islamonologi: Sejarah, Ajaran,
dan Perannya Dalam Peradaban Umat
Manusia, op.cit., h. 35.
[28] Adang Affandi,
Islam Konsep dan Sejarahnya, op.cit., h. 129-130.
[29] Abu
Su’ud, Islamonologi: Sejarah, Ajaran, dan Perannya Dalam Peradaban Umat Manusia, op.cit.,
h. 37.
[32] Musyrifah
Sunanto, Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam,
(Jakarta: Prenada Media, 2003), h. 19-20.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar