Sabtu, 13 Februari 2016

SEJARAH PERADABAN ISLAM PADA MASA NABI MUHAMMAD SAW DI MEKKAH DAN MADINAH BY SANI



BAB I
PENDAHULUAN


Sejarah merupakan suatu rujukan yang sangat penting untuk mewujudkan masa depan yang lebih baik. Berkaitan dengan itu kita bisa mengetahui kejadian-kejadian yang terjadi pada masa lalu, terutama bagi umat Islam. Perkembangan Islam pada masa Nabi Muhammad Saw melalui berbagai macam cobaan dan tantangan yang dihadap untuk menyebarkannya. Islam berkembang dengan pesat hampir semua lapisan masyarakat dipegang dan dikendalikan oleh Islam. Hal itu tentunya tidak terlepas dari para pejuang yang sangat gigih dalam mempertahankan dan juga dalam menyebarkan Islam sebagai agama Tauhid yang diridhoi. Perkembangan Islam pada zaman inilah merupakan titik tolak perubahan peradaban kearah yang lebih maju. Maka tidak heran para sejarawan mencatat bahwa Islam pada zaman Nabi Muhammad SAW merupakan Islam yang luar biasa pengaruhnya.[1]
Sosok manusia terpopuler sepanjang masa telah lahir di padang pasir tandus menjelang akhir abad keenam Masehi. Namanya paling banyak disebut, dan tak tertandingi oleh tokoh dunia manapun di muka bumi. Keluhuran budi pekertinya menjadi suri teladan bagi siapa pun yang mendambakan kedamaian dan kebahagiaan. Ajaran yang dibawanya menjadi obor penerang bagi setiap pencinta kebenaran. Beliau adalah Nabi terkahir yang diutus Tuhan kepada umat manusia an menjadi penyempurna dari ajaran-ajaran yang dibawa oleh Nabi-nabi Allah terdahulu. Beliau lahir di tengah-tengah masyarakat Arab jahiliyah yang menjadikan nafsu sebagai panglima, mempertuhan materi dan kekayaan serta membanggakan nasab dan keturunan. Di tengah-tengah masyarakat yang meraba-raba dalam kegelapan moral yang pekat, beliau nyalakan pelita kebenaran. Beliau damaikan suku-suku yang bermusuhan dan dipersatukannnya pula kabilah-kbilah yang terperangkap dalam kotak-kotak ashabiah yang berserakan dan menyesatkan ke dalam sebuah keluarga besar “Islam”. Dua puluh tahun lebih beliau bekerja keras dan akhirnya berhasil.[2]



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Masyarakat Arab Sebelum Islam
1.      Kondisi Politik
Bangsa Arab sebelum  Islam, hidup bersuku-suku (kabilah-kabilah) dan berdiri sendiri-sendiri. Satu sama lain kadang-kadang saling bermusuhan. Mereka tidak mengenal rasa ikatan nasional. Yang ada pada mereka hanyalah ikatan kabilah. Dasar hubungan dalam kabilah itu ialah pertalian darah. Rasa asyabiyah (kesukuan) amat kuat dan mendalam pada mereka, sehingga bila mana terjadi salah seorang di antara mereka teraniaya maka seluruh anggota-anggota kabilah itu akan bangkit membelanya. Semboyan mereka “ Tolong saudaramu, baik dia menganiaya atau dianiaya “.[3]
Kekuasaan  yang  berlaku  saat  itu adalah sistem diktator. Banyak hak yang terabaikan. Rakyat bisa diumpamakan sebagai ladang yang harus mendatangkan hasil dan memberikan pendapatan bagi pemerintah. Lalu para pemimpin menggunakan kekayaan itu untuk foya-foya, sedangkan rakyat dengan kebutaan semakin terpuruk dan dilingkupi kezhaliman dari segala sisinya.[4]
2.      Kondisi Masyarakat
Secara garis besar, kondisi masyarakat mereka bisa dikatakan lemah dan buta. Kebodohan mewarnai segala aspek kehidupan, khurafat tidak bisa dilepaskan, manusia hidup layaknya binatang. Wanita diperjual-belikan dan kadang-kadang diperlakukan layaknya benda mati. Hubungan di tengah umat sangat rapuh dan gudang-gudang pemegang kekuasaan dipenuhi kekayaan yang berasal dari rakyat, atau sesekali rakyat dibutuhkan untuk menghadang serangan musuh.[5]

3.      Sistem Kepercayaan dan Kebudayaan
Semua gambaran agama dan kebiasaan masyarakat Arab adalah syirik dan penyembahan terhadap berhala menjadi kegiatan sehari-hari, keyakinan terhadap hayalan dan khurafat selalu menyelimuti kehidupan mereka. Begitulah agama dan kebiasaan mayoritas bangsa Arab masa itu. Sementara sebelum itu sudah ada agama Yahudi, Masehi, Majusi, dan Shabi’ah yang masuk kedalam masyarakat Arab. Tetapi itu hanya sebagian kecil oleh penduduk Arab. Karena kemusyrikan dan penyesatan aqidah terlalu berkembang pesat.[6]
Kepercayaan  bangsa Arab sebelum lahirnya Islam, mayoritas mengikuti dakwah Isma’il Alaihis-Salam, yaitu menyeru kepada agama bapaknya Ibrahim Alaihis-Salam yang intinya menyeru menyembah Allah, mengesakan-Nya, dan memeluk agama-Nya.[7]
B.     Peradaban Islam pada Masa Nabi
              Nabi Muhammad Saw dilahirkan pada tahun gajah,  tahun ketika pasukan gajah Abrahah menyerang Mekkah untuk menghancurkan Ka’bah, namun mengalami kehancuran. Peristiwa itu kira-kira terjadi pada tahun 570 M (Rabiul Awal). Dalam kebiasaan di antara orang-orang kaya dan bangsawan Arab bahwa ibu-ibu tidak mengasuh anak-anak mereka, tetapi mereka mengirim anak-anak ke pedesaan  untuk diasuh dan dibesarkan disana. Begitu juga dengan Muhammad ketika kecil, setelah diasuh beberapa lama oleh ibunya, kemudian dia dipercaykan kepada Halimah dari suku Bani Sa’ad untuk diasuh dan dibesarkan hingga berusia 6 tahun ketika Muhammad dikembalikan kepada ibunya, Aminah. Pada saat itu Ibunya bermaksud menziarahi makam suamianya di Madinah. Namun ditengah perjalanan, yaitu di Abwa, Aminah menderita sakit dan menghembuskan nafas yang terakhir di sana. Dengan demikian, pada usia 6 tahun Muhammad sudah kehilangan kedua orang tuanya.[8]
              Sekarang mengasuh dan memeliharan Muhammad adalah kakeknya, Abdul Muthalib. Baru saja dua tahun berada di bawah asuhan kakeknya, Abdul Muthalib meninggal dunia. Dengan demikian, pada usia 8 tahun, yang menjadi wali Muhammad adalah pamannya yang bernama Abu Thalib.[9]
              Abu Thalib sudah merasakan kekagumannya terhadap kepribadian Muhammad yang baik sejak masa mudanya. Dalam usia masih muda perilakunya sering menunjukan kepribadian yang terpuji. Dalam usia 12 tahun Muhammad diajak dalam perjalanan niaga oleh Abu Thalib ke Siria. Dalam perjalanan itu Abu Thalib mendapat beberapa gejala supranatural pada diri Muhammad, rombongan perjalanan atau kafilah ke Siria yang dipimpin oleh Abu Thalib tampaknya menjadi perhatian dari kejauhan oleh seorang pendeta Nasrani bernama Buhairah. Dari rumah kediamannya pendeta itu melihat keanehan gejala alam pada kafilah itu. Seolah-olah rombonghan itu selalu dinaungi awan, sehingga tidak merasakan panas terik cuaca padang pasir. Oleh karenanya kafilah itu dihentikan olehnya sebelum memasuki kota, untuk singgah di komples kediaman pendeta. Pendeta itu sangat tertarik pada kehadiran Muhammad dalam rombongan itu. Ternyata dia melihat tanda kenabian di punggungnya. Segera si pendeta  itu menceritakan hal itu kepada Abu Thalib, dan memintanya agar lebih hati-hati merawat dan mendidik Muhammad.[10]
              Reputasi Muhammad muda sebagai orang bijak, dapat dipercaya, maupun pengalaman mengikuti pamannya., Abu Thalib. Dalam perjalanan niaga, menarik perhatian seorang wanita karir. Dialah Khadijah binti Khuwailid, janda berumur 40 tahun, yang membutuhkan seorang mitra niaga. Kesuksesan Muhammad sebagai mitra dagang bukan saja menyenangkan karir dagang Khadijah karena mampu memajukan usaha dagangnya, melainkan juga menimbulkan kekagumannya sebagai seorang perempuan.[11] Khadijah mengajukan lamaran kepadanya untuk menikah. Abu Thalib menyetujui, dan merekapun menikah. Pada saat menikah dikabarkan bahwa Khadijah berusia 40 tahun dan Muhammad berusia 25 tahun. Muhammad memperoleh tiga orang anak laki-laki dan empat orang anak perempuan. Semua anak laki-laki itu meninggal dunia ketika masih bayi, tetapi anak-anak yang perempuan hidup hingga dewasa.[12]
              Menjelang usia 40 tahun Muhammad mulai menunjukkan kegelisahan nurani, sebagai akibat penghayatannya terhadap kehidupan setriap malam dengan hati gelisah Muhammad melakukan tahannus atau perenungan di tempat sepi, yaitu Gua Hira di Jabal Nur di pinggir kota Mekkah. Bila gelap mulai tiba dia menuju Jabal Nur, dan kembali ketika fajar telah menyingsing. Upaya itu menghasilkan sesuatu. Pada suatu malam Muhammad kedatangan suatu makhluk yang belum pernah dijumpai.[13] Dia mengaku sebagai Malaikat Jibril, sebari mengatakan Iqra yang berarti “Bacalah”.
              Ma ana bi qori atau ”Aku tidak bisa baca tulis”, jawab Muhammad terbata-bata. Ketika perintah itu diulang kembali. Muhammad pun kembali menyatakan bahwa dia tidak bisa membaca. Kemudia Jibril memeluknya erat-erat dan berkata “Iqra bismirobbikaalladzi khalaq. Khalaqal insanaa min alaq ....”, sampai beberapa ayat seperti tertera dalam Surat Al-Alaq Ayat 1-5. Muhammad tidak menyadari bahwa dia dengan demikian telah terpilih untuk menerima wahyu dari Allah berupa ajaran agama Islam. Dengan gemetaran dia kembali ke rumah, dan mengadukan pengalaman rohaninya yang amat sensasional intu kepada Khadijah. Dalam keadaan terkejut itu Muhammad meminta istrinya untuk menyelemuti tubuhnya yang mengigil bagai orang kedinginan.[14]
              Belum lagi Muhammad mampu menenangkan diri tiba-tiba dia mendengar suara bagai bunyi genta. Rasanya dia mulai mengenali bakal datangnya kembali Jibril. Kemudia terdengar suara:
$pkšr'¯»tƒ ãÏoO£ßJø9$# ÇÊÈ   óOè% öÉRr'sù ÇËÈ   y7­/uur ÷ŽÉi9s3sù ÇÌÈ   y7t/$uÏOur öÎdgsÜsù ÇÍÈ .....
              Bunyi itu tertera dalam Qur’an Surah Al-Mudatstsir, yang berarti “Hai orang yang berselimut, bangunlah, lalu berilah peringatan, dan bersihkan pakaianmu, dan Tuhanmu agungkanlah ....”

1.      Tantangan dan Kendala Dakwah Islamiyah Di Mekkah
              Perjuangan Nabi Muhammad Saw. Melakukan dakwah Islamiyah dalam menyebarkan akidah baru menghadapi perlawanan sengit dari kaum Quraisy. Mereka mengembangkan sikap permusuhan terhadap kehadiran agama baru yang dibawa Nabi. Orang Quraisy itu berusaha sekuat tenaga untuk menghalangi dakwah atau penyebaran ajaran baru. Mereka melakukan pengejaran dan penghukuman terhadap para pengikut Nabi Muhammad Saw. Penolakan kaum Quraisy terhadap ajaran Nabi Muhammad sebetulnya buka karena menolak subtansi ajaran itu. Mereka pada dasarnya sudah mengenal Allah sebagai Tuhan Pencipta. Para analis sosial beranggapan bahwa penolakan atas gerakan dakwah Nabi Muhammad Saw. Berlatang belakang kepentingan sosial. Mereka merasa khawatir kalau posisi, gengsi sosial dan kepentingan para pemimpin Quraisy terganggu kalau menerima Islam. Mereka beranggapan kalau Muhammad diterima sebagai Nabi berarti diakui kehadiran Muhammad sebagai pemimpin baru. Ini berarti posisi sosial mereka bakal terganggu dan dikhawatirkan berdampak pada merosotnya kepentingan ekonomi mereka. Atas dasar itulah para pembesar Quraisy melakukan perlawanan terhadap kehadiran Islam.[15]
              Untuk mencegah terjadinya pengejaran dan tindakan penghukuman berkepanjanagan terhadap para pengikutnya, Nabi memerintahgkan agar beberapa pengikutnya melakukan hijrah ke Abesinia. Negeri itu dipilih karena negeri di Pantai Timur Afrika diperintah oleh seorang  Negus, seorang penguasa beragama Nasrani. Perlu diketahui orang Nasrani di Mekkah tidak bersikap bermusuhan terhadap persebaran agama Islam. Kemudian setelah keadaan di Mekkah aman para pengungsi muslim itu kembali ke kampung halaman. Meskipun demikian mereka masih melakukan kegiatan dakwah Islam secara sembunyi-sembunyi.[16]
              Di pada saat terjadinya peristiwa pengungsian muslimin ke Abesinia tersebar kabar bahwa Nabi pernah menyatakan bahwa ada dua orang tokoh yang amat membantu keberhasilan dahwah Islamiyah, kalau mereka masuk Islam, yaitu Umar bin Khattab dan Abu Sufyan. Alasanya karena Umar bin Khattab dianggap memiliki keberanian maupun kemampuan dana untuk melawa serangan dan penindasan kaum Quraisy terhadap kaum muslimin. Sementara itu Abu Sufyan yang memliki posisi sosial tinggi dalam masyarakat Quraisy dan memiliki kekuatan dana dianggap dapat menolong persebaran Islam. Itu sebabnya keduanya diharapkan menjadi andalan kalau masuk Islam.[17]
               Pada suatu saat waktu Umar bin Khattab tampil garang dengan pedang terhunus di tangan kanan. Wajahnya merah padam menunjukkan kegeraman hatinya  dia  bergegas menuju suatu tempat yang diduga menjadi tempat Nabi Muhammad Saw. Sedang mengajarkan agama kepada para pemeluk baru. Di saat itulah seorang temannya dengan terheran-heran menanyakan ke mana maksud kepergian Umar bin Khattab. Ketika mendapat jawaban tentang maksud tujuan Umar bin Khattab hendak melabrak Nabi Muhammad Saw. Teman itu berkata “Umar, kenapa anda repot-repot akan menghukum orang lain, semetara adik perempuan anda semdiri sudah masuk Islam. Saat ini dia sedang mengaji Qur’an.”[18]
              Mendengar perkataan temannya Umar bin Khattab segera berbalik arah untuk menuju rumah adiknya. Sesampai di rumah adiknya Umar bin Khattab menyaksikan adiknya sedang dengan khusuk membaca sebuah ayat. Tanpa banyak bicara Umar bin Khattab segera merebut lembaran itu dan bagai orang terkena hipnotis Umar bin Khattab yang perkasa tangannya spontan kaku memegang lembaran itu kemudian pelan-pelan diturunkan. Dan kemudian Umar berkata “Cepat antarkan aku ke Muhammad”, sambil bergegas meninggalkan rumah adiknya.[19]
              Secara reflek para pemuda dengan tubuh tegap segera berdiri mengelilingi Nabi Muhammad Saw. Ketika menyaksikan Umar bin Khattab sudah berada di ruang tempat tempat Nabi mengajarkan agama. Belum ada yang berani membuka mulut untuk menanyakan maksud kedatangan Umar bin Khattab, lalu Umar bin Khattab berkata “Tidak usah cemas. Aku mau masuk Islam”. Kemudia Umar bin Khattab menyatakan ikrar kesaksiannya di hadapan Nabi.[20]
              Sesuai dengan yang diharapkan Nabi Muhammad Saw. sejak Umar bin Khattab masuk Islam masyarakat muslim sepertimen dapat  semangat baru. Mereka mulai berani terang-terangan mengajarkan Islam. Semakin banyak kaum tertindas dan masyarakat dari kalangan sosisal rendah terang-terangan  masuk Islam.[21]
              Tidak dapat disangkal bahwa peran Abu Thalib juga besar dalam pertumbuhan Islam. Sebagai orang yang dituankan dan dihormati dalam masyarakat Quraisy dia tetap disegani para pembesar Quraisy. Sehingga selagi Abu Thalib masih hidup orang-orang Quraisy masih tetap enggan untuk memusnahkan Nabi Muhammad dan pengikutnya. Oleh karenanya berbagai upaya dilakukan oleh mereka untuk mematahkan semangat perjuangan Nabi Muhammad termasuk dengan sarana bujukan dan rayuan misalnya pernah ditawarkan lewat Abu Thalib agar Nabi mau menghentikan dakwah Islamnya dengan iming-iming harta, kedudukan sosial, maupun kenikmatan lainnya.[22]
              Malang tidak dapat ditolak, untuk tidak dapat diraih, begitu kata pepatah. Demikian juga dengan nasib Nabi Muhammad Saw. pada tahun ke-10 kenabian, pamannya Abu Thalib meninggal dunia. Belum lama setelah pamannya meninggal Nabi harus mengalami kesedihan berikutnya. Khadijah, istri tercinta harus pula menghadap Tuhan. Kematian mereka itu menimbulkan masa sulit yang baru. Kaum Quraisy melipatgandakan penyiksaan mereka.[23]


2.      Hijrah Ke Madinah
              Kata Hijrah tidak berarti lari akan tetapi terjemahannya  yang paling tepat adalah pindah.[24] Karena tidak tahan terhadap kekejaman-kekejaman dan kebencian-kebencian yang brutal dari orang-orang senegeri dan marganya sendiri, Nabi mengalihkan perhatiannya untuk mencari tempat baru.[25] Nabi memutuskan untuk berhijrah ke Madinah dengan beberapa alasan. Pertama, tawaran dan undangan kepada Nabi untuk berhijrah ke Madinah, yang selanjutnya dapat dianggap sebagai pusat penyiaran Islam. Kedua, situasi keamanan Mekkah tidak menguntungkan bagi kaum muslimin, karena makin besarnya tekanan kaum Quraisy. Ketiga, yang merupakan faktor paling menentukan, yaitu wahyu untuk melakukan hijrah.[26]
              Jauh sebelum peristiwa hijrah dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya, sejumlah pemimpin kabilah di Madinah dari Bani Khuraedhoh dan Bani Khujroj pernah mendatangi Rasul. Mereka menyatakan bahwa masyarakat Madinah sanggup melindungi keselamatan pribadi Rasul maupun para pengikut Islam. Karena itu, mereka menghendaki pemeluk Islam pndah memulai hidup baru di Madinah. Para pengungsi itu kemudian dikenal sebagai kaum Muhajirin, yaitu mereka yang melakukan hijrah atau berpindah tempat ke Madinah dengan alasan keamanan.[27]
              Keadaan Madinah sebelum datangnya Nabi Muhammad di sana samahalnya dengan keadaan di Mekkah. Pelanggaran hukum merupakan keadaan sehari-hari. Suku-suku yang tinggal di sana berperang satu sama lain. Sebelum kedatangan Nabi, Madinah terutama didiami oleh dua suku, yaitu susku Aus dan Kharaj. Selama lebih dari satu abad mereka dalam keadaan siap tempur dan hidup dalam suasana perang yang tiada henti-hentinya. Mereka sangat letih karena peperangan yang berkepanjangan dan menghancurkan itu. Oleh karena itu mereka sangat memerlukan perdamaian dan kemanan karena, tanpa  hal itu, pertanian, perdagangan, dan bahkan kehidupan normal mereka hampir terhenti. Sebaliknya, orang-orang Yahudi adalah orang-orang yang paling bersatu, paling makmur, dan paling berbudaya di Jazirah.[28]
              Selama periode Madinah dakwah Islamiyah hanya berpusat pada penanaman akidah yang berinti pada ketauhidan atau prinsip keesaan Tuhan. Sikap utamna yang ditanam hanyalah meyakini  keesaan Allah dan kenabian Muhammad, yang diikrarkan dalam wujud syahadat. Selama periode itu, syariah Islam belum mengajarkan berbagai cara kepribadian.  Periode ini ditandai dengan pengenalan awal berbagai sisi lain syariah Islam yang berupa peribadatan, seperti salat, puasa, zakat, maupun haji.[29]
              Ketika sampai di Madinah Nabi dielu-elukan kedatangannya. Baik para sahabat Ansor maupun Muhajirin menyambut kehadiran itu dengan nyanyian dan tari. “Tola’al badrun ‘alaina”. Telah terbitr rembulan di atas kita. “Marhaban, ya Nabi”. Selamat datang ya Nabi.  Mereka mempersilahkan Nabi mencari tanah untuk membangun mesjid. Akhirnya ditemukan suatu tempat untuk didirikan mesjid, yang sekaligus menjadi rumah kediaman Nabi  dan keluarga. Mesjid itu kemudian disebut Mesjid al Nabawi (Masjidun  Nabawi) atau Mesjid Nabi. Kepada kaum muslimin juga dikenakan kewajiban bela negara ketika masyarakat dalam bahaya, yang disebut syariat jihat fi sabilillah atau berjuang di jalan Allah atau menegakkan kebenaran.[30]
              Berbagai jenis syariah ibadah itu mulai disosialisasikan bagi masyarakat atau umat muslim dalam periode Madinah. Sebetulnya buka aspek peribadatan formal itu saja yang dilaksanakan dalam periode itu. Kepada mereka juga mulai diaktualisasikan ajaran Islam dalam hidup kemasyarakatan, termasuk kegiatan politik. Salah satu wujudnya adalah memberlakukan konsep masyarakat madani yang berdasar “Piagam Madinah”, sebagao konsep dasar bagi pengembangan hidup dalam masyrakat majemuk. Yang dimaksud dengan Piagam Madinah adalah semacam undangan-undangan tidak tertulis yang mengatur berbagai bentuk hubungan antarwarga yang majemuk. Seperti diketahui masyarakat Madinah terdiri dari kaum Muhajirin (semacam non-pribumi) dan kaum Ansor.[31] Ketika Nabi Muhammad Saw. diangkat menjadi kepala negara Nabi mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan kaum Ansor, persaudaraan berdasarkan agama sebaghai basis warga negara.[32]
a.      Perlawana Kaum Yahudi
             Tidak dapat disangkal masyarakat madani yang sedang dibangun oleh Nabi Muhammad Saw. tidak berjalan dengan mulus. Di sana sini telah terjadi perlawanan terhadap kehadiran masyarakat yang dibangun Nabi Muhammad Saw. Perlawanan yang cukup berarti datang dari kaum Yahudi. Alasan kuat kaum Yahudi melakukan perlawanan adalah karena kekhawatiran tergesernya kedudukan kaum elite Yahudi dalam masyarakat baru tersebut. Sebagaimana kita ketahui orang Yahudi sebelum agama Islam lahir telah lama tinggal di Madinah. Menghadapi keadaan itu kaum muslimin tidak tinggal diam, lebih-lebih setelah turun wahyu “Perangilah di jalan Allah olehmu orang-orang yang memerangi kamu, dan jaganlah kamu melampaui batas”. Pertempuran itu dilakukan  dengan semangat wahyu tersebut, dan berhasil mengusir kaum Yahudi.[33]

b.      Perang Badar
             Kaum Quraisy di Mekkah merasa tidak senang menyaksikan para pelarian dari Mekkah, yaitu kaum muslimin di bawah Nabi Muhammad, mulai mapan membentuk masyarakat madani. Kaum Quraisy merancang penyerangan terbuka terhadap kaum muslimin di Madinah. Langkah pertama yang dilakukan adalah mengambil alih semua harta kaum muslimin yang ditinggal di Mekkah. Tindakan itu dibalas  oleh kaum muslimin dengan menghalangi jalur perdagangan Siria ke Mekkah lewat Madinah hal itu membuat  orang Quraisy marah. Kemudian mereka meminta bantuan dari induknya di Mekkah. Segera mereka menyiapkan penyerangan tentara ke Madinah dengan kekuatan tentara sebanyak 1000 orang. Untuk menghadapi  pasukan besar itu kaum muslimin hanya mampu mengerahkan 300 pasukan. Meskipun demikian dengan pertolongan Allah pasukan musuh dapat diusir dan dikalahkan. Pertempuran itu dikenal dengan nama Perang Badar, karena berlangsung di sekitar Bukit Badar. Dengan kemenangan itu kaum muslimin makin mantap dengan keimanan mereka pada pertolongan Allah.[34]

c.       Perjanjian Hudaibiyah
             Kira-kira satu tahun lamanya tanpa ada pertikaian senjata di antara kedua kubu yang bermusuhan. Kaum muslimin menduga keadaan sudah aman. Oleh karenanya pada suatu hari kaum muslimin sebanyak 1400 orang dibawah pimpinan Nabi bergerak melakukan perjalanan ziarah ke Tanah Haram untuk menunaikan ibadah haji. Peristiwa itu terjadi pada tahun ke-6 hijriah, bertepatan dengan tahun 682 Masehi. Ketika berita sampai pada kaum Quraisy di Mekkah segera mereka menghalangi, karena dikira akan melakukan penyerangan ke Mekkah.
             Kemudian dilakukan perdamaian di antara dua pasukan itu. Mereka menandatangani kesepakatan damai yang kemudian dikenal sebagai Perjanjian Hudaibiyah, yaitu berisi pasal-pasal perjanjian antara lain:[35]

1.      Kaum muslimin harus kembali ke Madinah dan tidak melaksanakan ibadah haji tahun ini
2.      Kaum muslimin baru boleh menunaikan ziarah ke Tanah Haram tahun depan, dan itu pun hanya boleh tinggal di Mekkah selama tiga hari.
3.      Selama 10 tahun kedua belah pihak tidak akan melakukan peperangan dan akan hidup berdampingan secara damai.
4.      Bila orang-orang Mekkah menyebrang ke Madinah mereka harus dikembalikan ke Mekkah, sebaliknya bila orang Madinah menyebrang ke Mekkah mereka tidak akan dikembalikan ke Madinah.
5.      Orang-orang Arab bebas untuk memilih akan bergabung ke pihak Quraisy atau Nabi Muhammad.
                        Mula-mula para sahabat Nabi merasa bahwa Nabi Muhammad telah terjebak dengan isis perjanjian itu. Lebih-lebih dengan isi pasal 4. Namun kemudian para sahabat akhirnya mengakui kelihaian Nabi dalam berdiplomasi, dijelaskan oleh Nabi, bahwa pasal itu memiliki makna dakwah yang efektif. Kalau penduduk Mekkah datang ke Madinah dan harus harus diekstradisi, mereka bakal mengenal dari dekat kualitas masyarakat madani di Madinah. Kalau mereka akhirnya kembali ke Mekkah mereka ibarat menjadi juru bicara masyarakat madani yang dikembangkan Nabi secara gratis. Sebaliknya orang-orang Madinah yang datang ke Mekkah, dan mereka tidak boleh kembali ke Madinah, mereka akan menjadi juru dakwah di Mekkah, tanpa batas waktu.[36]

d.      Futuhul Mekkah
             Dua tahun setelah penandatanganan Perjanjian Hudaibiyah pasukan sebesar 10.000 muslimin ke Mekkah untuk merebut Mekkah yang dianggap memiliki makna politik dan intelektual tinggi. Dengan menduduki kembali Mekkah berarti kaum muslimin telah mendapat legalitas sebagai penguasa Arab. Berita kehadiran pasukan Islam yang dipimpin Nabi itu mempunyai tekanan psikologis kuat bagi penduduk Mekkah denganserta merta penduduk Mekkah yang gemetar hati itu untuk menyerah diri tanpa perlwanan sehingga tidak tidak setetespun darah keluar, apalagi mengalir sebagai akibat kontak senjata hal ini dikenal dengan istilah Futuhul Mekkah atau jatuhnya kota Mekkah.[37]
















BAB III
PENUTUPAN 




§  Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah disebutkan dapat disimpulkan bahwa sejarah peradaban Islam dimasa Nabi Muhammad Saw banyak melewati rintangan-rintangan dan penganiayaan diluar batas manusia. Namun demikian orang muslim selalu bersabar dan istiqamah di jalan-Nya. Begitu juga dengan Nabi Muhammad Saw selalu bersabar dan istiqamah dalam menyiarkan agama islam dari periode Mekkah hingga Periode Madinah.
            Nabi Muhammad Saw bukan hanya sebagai seorang Rasulullah yang di utus untuk menyebarkan ajaran Islam, melainkan juga sebagai pemimpin negara yang pandai dalam berpolitik, sebagai seorang panglima perang serta seorang administrator yang cakap, hanya dalam waktu kurun waktu singkat Rasulullah bisa menaklukkan seluruh Jazirah Arab.
Pada akhirnya, perjuangan Nabi Muhammad Saw. membuahkan hasil, yaitu berkembangnya islam dengan pesat, tidak hanya di Madinah bahkan di Mekkah juga,  yang ditandai dengan terjadinya peristiwa Fathul Mekkah.













DAFTAR PUSTAKA


Affandi, Adang, Islam Konsep dan Sejarahnya, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1994.
Baehaqi, Imam, Asal Usul dan Perkembangan Islam, cet. 1, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1999.
Effendi, Djohan, Muhammad: Nabi dan Negarawan, Jakarta: Kuning Mas, 1984.
Su’ud, Abu, Islamonologi: Sejarah, Ajaran, dan Perannya  Dalam Peradaban Umat Manusia, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003.
Sunanto, Musyrifah, Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, Jakarta: Prenada Media, 2003.



                [1] Abu Su’ud, Islamonologi: Sejarah, Ajaran, dan Perannya  Dalam Peradaban Umat Manusia, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003), cet. 1, h. 55.

                [2] Ibid., h. 56.
                [3] Imam Baehaqi, Asal Usul dan Perkembangan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1999), cet. 1, h. 47.

                [4] Ibid.

                [5] Ibid., h. 48
                [6] Ibid.

                [7] Ibid.

                [8] Adang Affandi, Islam Konsep dan Sejarahnya, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1994), h. 103-104.   
                [9] Ibid.
                [10]  Abu Su’ud, Islamonologi: Sejarah, Ajaran, dan Perannya  Dalam Peradaban Umat Manusia, op.cit., h. 22-23.

                [11] Ibid., h. 24.       

                [12] Adang Affandi, Islam Konsep dan Sejarahnya, op.cit., h. 105.
                [13] Abu Su’ud, Islamonologi: Sejarah, Ajaran, dan Perannya  Dalam Peradaban Umat Manusia, op.cit., h. 25.

                [14] Ibid., h.26.

                [15] Ibid., h.28.

                [16] Ibid., h. 28-29.

                [17] Ibid.

                [18] Ibid., h. 30.

                [19] Ibid.

                [20] Ibid., h. 30-31.
               
                [21] Ibid.
               
                [22] Ibid.
               
                [23]  Ibid., h. 31-32.

                [24] Djohan Effendi, Muhammad: Nabi dan Negarawan, (Jakarta: Kuning Mas, 1984), h. 94.

                [25]  Adang Affandi, Islam Konsep dan Sejarahnya, op.cit., h. 129.
               
                [26]  Abu Su’ud, Islamonologi: Sejarah, Ajaran, dan Perannya  Dalam Peradaban Umat Manusia, op.cit., h. 35.
               
                [27] Ibid., h. 35.

                [28] Adang Affandi, Islam Konsep dan Sejarahnya, op.cit., h. 129-130.

                [29] Abu Su’ud, Islamonologi: Sejarah, Ajaran, dan Perannya  Dalam Peradaban Umat Manusia, op.cit., h. 37.

                [30] Ibid., h. 38-39.
               
                [31] Ibid., h. 40.
               
                [32] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2003), h. 19-20.

                [33] Abu Su’ud, Islamonologi: Sejarah, Ajaran, dan Perannya  Dalam Peradaban Umat Manusia, op.cit., h. 48-49.

                [34] Ibid.

                [35] Ibid., h. 50-51.

                [36] Ibid.   

                [37] Ibid.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Penusukan Syekh Al Jabir

  Penulis Kontributor Lampung, Tri Purna Jaya | Editor David Oliver Purba LAMPUNG   KOMPAS.com – Ulama dan pendakwah Syekh Ali Jaber meminta...