Sejak zaman
dahulu, dalam dunia bisnis, manusia telah mengenal dua hal yang saling
berlawanan, yaitu keuntungan dan kerugian. Kedua hal ini senantiasa ada dalam
dunia bisnis, dan tidak mungkin dapat dipisahkan. Walau manusia telah berhasil
mencapai berbagai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, akan tetapi mereka
tetap saja tidak mampu menemukan cara untuk memisahkan antara keduanya. Ini
semua dikarenakan keuntungan dan kerugian dalam perniagaan memiliki banyak
sebab, mulai dari faktor yang datang dari kejadian alam seperti misalnya
bencana alam, hingga berbagai hal yang berkenaan dengan kesalahan pelaku usaha.
Oleh karena itu, setiap orang yang hendak menggeluti dunia bisnis, harus telah
menyiapkan mental dan strategi guna menghadapi salah satu dari dua hal
tersebut.
Karena agama
Islam adalah agama yang selaras dengan fitrah Allah Ta’ala yang telah
diturunkan ke bumi ini, maka kedua hal ini senantiasa mendapatkan perhatian.
Para ulama menggambarkan perhatian Islam terhadap dua hal ini dalam sebuah
kaidah,
الغنم بالغرم
“Keuntungan
adalah imbalan atas kesiapan menanggung kerugian“.
Atau dalam
ungkapan lain sering juga disebut,
الخراج بالضمان
“Penghasilan/kegunaan
adalah imbalan atas kesiapan menanggung jaminan.”
Maksud
kaidah ini ialah orang yang berhak mendapatkan keuntungan ialah orang yang
punya kewajiban menanggung kerugian -jika hal itu terjadi-. Kaidah ini
berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهَا أَنَّ رَجُلًا ابْتَاعَ غُلَامًا، فَأَقَامَ عِنْدَهُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ
يُقِيمَ، ثُمَّ وَجَدَ بِهِ عَيْبًا، فَخَاصَمَهُ إِلَى النَّبِيِّ صلّى الله عليه
وسلّم، فَرَدَّهُ عَلَيْهِ، فَقَالَ الرَّجُلُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ اسْتَغَلَّ
غُلَامِي؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلّى الله عليه وسلّم: (الْخَرَاجُ بِالضَّمَانِ). رواه أحمد
وأبو داود والترمذي والنسائي وحسنه الألباني
“Dari
sahabat ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwasanya seorang lelaki membeli seorang
budak laki-laki. Kemudian, budak tersebut tinggal bersamanya selama beberapa
waktu. Suatu hari sang pembeli mendapatkan adanya cacat pada budak tersebut.
Kemudian, pembeli mengadukan penjual budak kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan Nabi-pun memutuskan agar budak tersebut dikembalikan. Maka Penjual
berkata, ‘Ya Rasulullah! Sungguh ia telah mempekerjakan budakku?’ Maka, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Keuntungan adalah imbalan atas
kerugian.’” (HR. Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzy, an-Nasai dan dihasankan
oleh al-Albani).
Abu Ubaid
menjelaskan maksud hadits ini dengan berkata, “Yang dimaksud dengan keuntungan
pada hadits ini adalah hasil pekerjaan budak tersebut yang telah dibeli oleh
pembeli, kemudian ia pekerjakan beberapa waktu. Setelah ia mempekerjakannya, ia
menemukan cacat yang sengaja ditutup-tutupi oleh penjual, sehingga pembelipun
mengembalikan budak tersebut dan pembeli berhak mengambil uang pembayarannya
dengan utuh. Dengan demikian, ia telah mendapat keuntungan berupa seluruh hasil
pekerjaan budak tersebut (selama ada di tangannya -ed). Hal ini dikarenakan
budak tersebut -sebelum dikembalikan- merupakan tanggung jawab pembeli.
Seandainya budak tersebut mati, maka budak itu dihitung dari hartanya (ia yang
menanggung kerugiannya).”
Seusai
menyebutkan ucapan Abu Ubaid di atas, as-Suyuthi berkata, “Para ahli fikih juga
menyatakan demikian. Makna hadits tersebut ialah segala yang dihasilkan oleh
suatu hal, baik berupa penghasilan, manfaat, atau suatu benda, maka itu adalah
milik pembeli sebagai imbalan atas tanggung jawabnya sebagai pemilik. Karena,
andaikata barang yang telah ia beli tersebut mengalami kerusakan, maka
kerusakan itu tanggung jawabnya. Oleh karenanya hasilnya pun menjadi miliknya,
agar benar-benar keuntungan menjadi pengganti atas kerugian.” (Baca al-Asybah
wa an-Nazhair oleh as-Suyuthi hal. 136. Baca juga al-Mantsur Fi
al-Qawaidh oleh az-Zarkasyi 1/328, Aun al-Ma’bud oleh al-Azhim
al-Abadi 8/3 dan Tuhfaz al-Ahwazi oleh al-Mubarakfuri 3/397).
Demikianlah
semestinya peniagaan dijalankan, yaitu setiap orang yang berniaga mencari
keuntungan, maka dia harus siap menanggung kerugian yang mungkin terjadi. Bila
seorang pedagang berupaya untuk melepaskan diri dari tanggung jawab atas
kerugian yang mungkin terjadi, maka upaya tersebut sudah dapat dipastikan
terlarang.
Bila kita
mencermati berbagai bentuk transaksi riba, niscaya kita dapatkan bahwa para
pemakan riba nyata-nyata melanggar kaidah ini. Seorang rentenir hanya ingin
menumpuk keuntungan sebanyak-banyaknya, sedangkan ia tidak sedikitpun sudi
untuk menanggung kerugian. Bahkan, ia ingin tetap mendapatkan keuntungan
(bunga) walaupun nasabah mengalami kerugian.
Dan
dikarenakan mudharabah adalah salah satu bentuk perniagaan, maka kaidah
inipun berlaku padanya. Oleh karena itu para ulama menjelaskan bahwa kerugian
yang berkaitan dengan modal (materi) menjadi tanggung jawab pemodal, sedangkan
kerugian non-materi, (skiil/tenaga) menjadi tanggung jawab pengusaha.
Andai
pemodal mensyaratkan agar pengusaha menjamin modalnya, sehingga bila terjadi
kerugian modal dikembalikan utuh, maka persyaratan adalah persyaratan yang
tidak sah (Baca Badaa’i ash-Shanaa’ii oleh al-Kasani al-Hanafy 5/119, al-Mughni
oleh Ibnu Qudaamah 7/176, Syarikah al-Mudharabah Fii al-Fiqhi al-Islami
oleh Dr. Sa’ad bin Gharir bin Mahdi as-Silmu hal. 291).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar