Jumat, 29 Mei 2015

MAKALAH Auditing By Sani



BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Materialitas mendasari penerapan standar auditing, terutama yang berkaitan dengan penerapan standar pekerjaan lapangan dan standar pelaporan, serta tercermin dalam laporan auditor bentuk baku. Materialitas dan risiko sangat fundamental bagi perencanaan audit dan perancangan pendekatan audit. Risiko audit dan materialitas, bersama dengan hal-hal lain, perlu dipertimbangkan dalam menentukan sifat, saat, dan lingkup prosedur audit serta dalam mengevaluasi hasil prosedur.
Karena itulah penulis tertarik untuk lebih mendalami pokok pembahasan ini. Namun, dalam makalah ini penulis hanya memaparkan mengenai materialitas dan risiko audit, mulai dari definisi, sampai dengan hubungan antara materialitas, risiko audit, dan bukti audit.

B.      Rumusan Masalah
A.      Apa itu materialitas?
B.       Bagaimana konsep materialitas itu?
C.       Apa pertimbangan auditor pada saat awal materialitas?
D.      Apa hubungan antara materialitas dengan bukti audit?
E.       Apa itu risiko audit?
F.        Seperti apa risiko audit pada tingkat laporan keuangan dan tingkat saldo akun?
G.      Apa saja unsur-unsur risiko audit?
H.      Bagaimana hubungan di antara risiko audit?
I.         Bagaimana hubungan antara materialitas, risiko audit, dan bukti audit?



BAB II
PEMBAHASAN

A.      Definisi Materialitas
Financial Accounting Standard Board (FASB) mendefinisikan materialitas sebagai:“Besarnya suatu penghapusan atau salah saji informasi keuangan yang, dengan memperhitungkan situasinya, menyebabkan pertimbangan yang dilakukan oleh orang yang mengandalkan pada informasi  tersebut akan berubah atau terpengaruh oleh penghapusan atau salah saji tersebut.”[1]
B.      Konsep Materialitas
Dari definisi materialitas di atas mengharuskan auditor untuk mempertimbangkan baik (1) kedaan yang berkaitan dengan entitas dan (2) kebutuhan informasi pihak yang akan meletakkan kepercayaan atas laporan keuangan auditing. Sebagai contoh, suatu jumlah yang material dalam laporan keuangan entitas tertentu mungkin tidak material dalam laporan keuangan entitas lain yang memiliki ukuran dan sifat yang berbeda. Begitu juga, kemungkinan terjadi perubahan materialitas dalam laporan keuangan dalam entitas tertentu dari periode akuntansi yang satu ke perode akuntansi yang lain. Oleh karena itu, auditor dapat menyimpulkan bahwa tingkat materialitas akun modal kerja harus lebih rendah bagi perusahaan yang memiliki current ratio 4 : 1. Dalam mempertimbangkan kebutuhan informasi pemakai informasi keuangan, semestinya harus dianggap, sebagai contoh, bahwa pemakai informasi keuangan adalah para investor yang perlu mendapatkan informasi memadai sebagai dasar untuk pengambilan keputusan mereka.[2]
Dalam audit atas laporan keuangan, audit itdak dapat memberikan jaminan bagi klien atau pemakai laporan keuangan yang lain, bahwa laporan keuangan auditan adalah akurat. Audit tidak dapat memberikan jaminan karena ia tidak memeriksa setiap transaksi yang terjadi dalam tahun yang diaudit dan tidak dapat menentukan apakah semua transaksi yang terjadi telah dicatat, diringkas,digolongkan, dan dikompilasi secara mestinya ke dalam laporan keuangan. Jika auditor diharuskan untuk memberikan jaminan mengenai keakuratan laporan keuangan auditan, hal ini tidak mungkin dilakukan, karena akan memerlukan waktu dan biaya yang jauh melebihi manfaat yang dihasilkan. Di samping itu, tidaklah mungkin seseorang menyatakan keakuratan laporan keuangan (yang berarti ketepatan semua informasi yang disajikan dalam laporan keuangan), mengingat bahwa laporan keuangan sendiri berisi pendapat, estimasi, dan pertimbangan tersebut tidak tepat atau akurat seratus persen.[3]
Oleh karena itu, dalam audit atas laporan keuangan, auditor memberikan kekayakinan berikut ini:[4]
1.      Auditor dapat memberikan keyakinan bahwa jumlah-jumlah yang disajikan dalam laporan keuangan beserta pengungkapannya telah dicatat, diringkas, digolongkan, dan dikompilasi.
2.      Auditor dapat memberikan kekayakinan bahwa ia telah mengumpulkan bukti audit kompeten yang cukup sebagai dasar memadai untuk memberikan pendapat atas laporan keuangan auditan.
3.      Auditor dapat memberikan keyakinan, dalam bentuk pendapat ( atau memberikan informasi dalam hal terdapat perkecualian), bahwa laporan keuangan sebagai keseluruhan disajikan secara wajar dan tidak terdapat salah saji material karena kekeliruan dan kecurangan.
Dengan demikian ada dua konsep yang melandasi keyakinan yang diberikan oleh auditor: konsep materialitas dan konsep risiko audit. Karena auditor tidak memeriksa setiap transaksi yang dicerminkan dalam laporan keuangan, maka ia bersedia menerima beberapa jumlah kekeliruan kecil. Konsep materialitas menunjukan seberapa besar salah saji yang dapat diterima oleh auditor agar pemakai laporan keuangan tidak terpengaruh oleh salah saji tersebut. Berapa jumlah kekeliruan atau salah saji yang auditor bersedia untuk menerimanya dalam laporan keuangan, namun ia tetap dapat memberikan pendapat wajar tanpa pengecualian karena laporan keuangan tidak berisi salah saji material. Konsep risiko audit menunjukan tingkat risiko kegagalan auditor untuk mengubah pendapatnya atas laporan yang sebenarnya berisi salah saji material.[5]

C.      Pertimbangan Awal Materialitas
Auditor menggunakan 2 cara dalam menerapkan materialitas; (1) pada saat perencanaan audit,dan (2) pada saat menegvaluasi bukti audit dalam pelaksanaan audit. Penetuan materialitas dapat berbeda dengan tingkat materialitas yg digunakan pada saat pengambilan kesimpulan audit dan dalam mengevaluasi tmuan audit karena keadaan yang melingkupi berubah dan informasi tambahan tentangklien yang diperoleh saat audit berlangsung.[6]
Sebagai contoh, klien mungkin dapat memperoleh sumber pembelanjaan untuk melanjutkan usahanya, yang pada saat audit direncanakan, audit meragukan kemampuan klien dalam mempertahankan kelangsungan hidup usaha klien. Kemudian, audit yang telah dilaksankan dapat memastikanbahwa karena sumber pembelanjaan tersebut, solvabilitas klien dalam periode yang diaudit telah mengalami peningkatan secara signifikan. Dalam keadaan ini, tingkat materialitas yang digunakan oleh auditor dalam mengevaluasi temuan audit dapat lebih tinggi dibandingkan dengan materialitas perencanaan.[7]
Dalam perencanaan suatu audit, auditor harus menetapkan materialitas pada dua tingkat berikut ini:[8]
a.      Tingkat laporan keuangan, karena pendapat auditor atas kewajaran mencakup laporan keuangan sebagai keseluruhan.
b.      Tingkat saldo akun, karena auditor memverifikasi saldo akun dalam mencapai kesimpulan menyeluruh atas kewajaran laporan keuangan.
Faktor yang harus dipertimbangkan dalam melakukan pertimbangan awal tentang materialitas pada setiap tingkat dijelaskan laporan keaungan.
1.        Materialitas pada tingkat laporan keuangan
Laporan keuangan mengandung salah saji meterial jika laporan tersebut berisi kekeliruan atau kekurangan yang dampaknya, secara individu atau secara gabungan, sedemikian signifikan sehingga mencegah penyajian secara wajar laporan keuangan tersebut sesuai dengan prinsip akuntansi berterima umum. Dalam keadaan ini, salah saji dapat terjadi sebagai akibat penerapan secara keliru prinsip akuntansi berterima umum di Indonesia, penyimpangan dari fakta, atau penghilangan informasi yang diperlukan.[9]
Dalam melakukan pertimbangan awal tentang materialitas, mula-mula auditor menentukan tingkat materialitas gabungan untuk setiap laporan keuangan. Sebagai contoh, auditor dapat menaksir bahwa kekeliruan berjumlah Rp2 juta untuk laporan laba-rugi dan Rp4 juta untuk neraca merupakan kekeliruan material. Dalam keadaan ini, auditor tidak semestinya menggunakan materialitas neraca dalam perencanaan audit karena jika salah saji neraca yang berjumlah Rp4 jutajuga berdampak terhadap laporan laba-rugi, sehingga laporan laba-rugi akan salah saji secara material. Untuk tujuan perencanaan audit, auditor harus menggunakan tingkat salah saji gabungan yang terkecil yang dianggap material terhadap salah satu laporan keuangan. Dasar pengambilan keputusan ini semestinya digunakan karena (1) laporan keuangan adalah saling berhubungan satu dengan lainnya, (2) banyak prosedur audit berkaitan dengan lebih dari satu laporan keuangan. Sebagai contoh, prosedur audit untuk menentukan apakah penjualan kredit pada akhir tahun dicacat dalam periode akuntansi semestinya memberikan bukti tentang baik piutang usaha (neraca) dan pendapatan penjualan (laporan laba-rugi).[10]
Pertimbangan awal auditor tentang materialitas seringkai dibuat enam sampai dengan sembilan bulan sebelum tanggal neraca. Oleh karena itu, pertimbangan tersebut dapat didasarkan atas data laporan keuangan yang dibuat tahunan. Sebagai alternatif, pertimbangan tersebut dapat didasarkan atas hasil keuangan satu tahun atau lebih yang telah lalu, yang disesuaikan dengan perubahan terkini, seperti keadaan ekonomi umum dan trend industri.
Sampai dengan saat ini, tidak terdapat panduan resmi yang diterbitkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia tentang ukuran kuantitatif materialitas. Berikut ini diberikan contoh beberapa panduan kuantitatif yang digunakan dalam praktik:[11]
a)         Laporan keuangan dipandang mengandung salah saji material jika terdapat salah saji 5% sampai 10% dari laba sebelum pajak.
b)        Laporan keuangan dipandang mengandung salah saji material jika terdapat salah saji 1/2%  sampai 1% dari total aktiva.
c)         Laporan keuangan dipandang mengandung salah saji meterial jika terdapat salah saji 1% dari pasiva.
d)        Laporan keuangan dipandang mengandung salah saji material jika terdapat salah saji 1/2% sampai 1% dari pendapatan bruto.
2.        Materialitas pada tingkat saldo akun
Materialitas pada tingkat saldo akun adalah salah saji minimum yang mungkin terdapat dalam saldo akun yang dipandang sebagai salah saji material. Konsep materialitas pada tingkat saldo akun tidak boleh dicampuradukkan dengan istilah saldo akun material. Saldo akun material adalah besarya saldo akun yang dicatat, sedangkan konsep materialitas berkaitan dengan jumlah salah saji yang dapat mempengaruhi keputusan pemakai informasi keuangan. Saldo suatu akun yang dicatat umumnya mencerminkan batas atas lebih saji dalam akun tersebut.[12]
Oleh karena itu, akun dengan saldo yang lebih kecil dibandingkan dengan materialitas seringkali disebut sebagai tidak material mengenai risiko lebih saji. Namun, tidak ada batas jumlah kurang saji dalam suatu akun dengan saldo tercatat yang sangat kecil. Oleh karena itu, harus didasari oleh auditor, bahwa akun yang kelihatannya bersaldo tidak material, dapat berisi kurang saji yang melampaui materialitasnya.[13]
Dalam mempertimbangkan materialitas pada tingkat saldo akun, auditor harus mempertimbangkan hubungan antara materialitas tersebut dengan materialitas laporan keuangan. Pertimbangan ini mengarah auditor untuk merencanakan audit guna mendeteksi salah saji yang kemungkinan tidak material secara individu, namun jika digabungkan dengan salah saji dalam saldo akun yang lain, dapat material terhadap laporan keuangan secara keseluruhan.[14]
1)        Alokasi materilitas laporang keuangan ke Akun
Bila pertimbangan awal auditor tentang materialitas laporan keuangan dikuantifikasikan, penaksiran awal tentang materialitas untuk setiap akun dapat diperoleh dengan mengalokasikan materialitas laporan keuangan ke akun secara individu. Pengalokasian ini dapat dilakukan baik untuk akun neraca  maupun akun laba-rugi. Namun, karena hampir semua salah saji laporan laba-rugi juga mempengaruhi neraca dan karena akun neraca lebih sedikit, banyak auditor yang melakukan alokasi atas dasar akun neraca.
Dalam melakukan alokasi, auditor harus mempertimbangkan kemungkinan terjadinya salah saji dalam akun tertentu dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk memversifikasi akun tersebut. Sebagai contoh, salah saji lebih kemungkinan lebih besar terdapat dalam sediaan dibandingkan dengan aktiva tetap, dan umumnya biaya untuk mengaudit sediaan lebih mahal dibandingkan dengan biaya untuk mengaudit aktiva tetap.
Untuk menggambarkan alokasi materialitas tersebut, misalnya PT X memiliki komposisi aktiva sebagai berikut:[15]
Kas                      Rp     500.000
Piutang Usahaa           1.500.000
Sediaan                       3.000.000
Aktiva Tetap               5.000.000
Jumlah Aktiva     Rp          10.000.000

Auditor memperkirakan salah saji dalam aku  kas dan aktiva tetap kemungkinannya kecil terjadi dan salah saji dalam akun piutang usaha dan sediaan kemungkinan lebih banyak terjadi. Berdasarkan pengalaman sebelumnya dengan klien, auditor memperkirakan akun dengan sedikit salah saji akan sangat murah biayanya untuk mengaudit dibandingkan dengan akun lain. Misalnya jika perkiraan awal materialitas laporan keuangan adalah 1% dari total aktiva, atau Rp100.000 auditor tersebut dapat mempertimbangkan dua alternatif dalam mengaokasikan materialitas laporan keuangan ke akun secara individual sebagai berikut:

Alokasi Materialitas
Akun
Alternatif A
%
Alternatif B
%
Kas
Rp    5.000
5
Rp    2.000
2
Piutang Usaha
      15.000
15
      18.000
18
Sediaan
      30.000
30
       50.000
50
Aktiva Tetap
      50.000
30
       30.000
30
Total
Rp100.000
100
Rp 100.000
100

Dalam Alternatif A, materialitas dialokasikan secara proposional ke dalam setiap akun, tanpa memperhatikan taksiran salah saji moneter dan biaya audit untuk mendeteksi salah saji tersebut. Dalam Alternatif B, alokasi materialitas lebeih besar dilakukan ke dalam akun piutang usaha dan sediaan, yang diperkirakan lebih banyak salah sajinya dibandingkan dengan akun lain dan biaya untuk mendeteksinya diperkirakan lebeih besar. Oleh karena itu, jumlah bukti yang diperlukan untuk akun-akun piutang usaha dan sediaan tersebut berkurang, dibandingkan dengan Alternatif A, karena terdapat hubungan terbaik antara materialitas saldo akun dan bukti audit. Sebagai akibatnya, audit tersebut secara sederhana membiarkan proporsi yang lebih besar dari total salah saji, tetap berada dalam akun yang memerlukan biaya mahal untuk mendeteksi sala saji.  Meskipun alokasi materialitas lebih kecil untuk kas dan aktiva tetap akan berakibat meningkatkan jumlah bukti yang diperlukan untuk akun-akun tersebut, kenyataan bahwa akun-akun tersebut memerlukan biaya muah untuk mengauditnya, secara keseluruhan akan menghasilkan penghematan biaya audit.[16]
Alokasi taksiran awala materialitas dapat revisi setelah dilaksanakannya pekerjaan lapangan. Sebagai contoh, jika ditemukan hanya Rp8.000 salah saji dalam verifikasi akun piutang usaha, jumlah Rp10.000 yang tidak terpakai dalam Alternatif B dapat dialokasikan ke akun sediaan.[17]
Meskipun dalam contoh tersebut di atas kelihatan diperlukan ketepatan alokasi materialitas laporan keuangan ke akun, analisis akhir proses alokasi tersebut sangat tergantung pada pertimbangan subjektif auditor.[18]
2)        Penggunaan materialitas dalam mengevaluasi bukti audit
Jika pada tahap perencanaan audit, auditor menaksirkan salah saji Rp9.000.000 dipandang material untuk total aktiva, jumlah ini kemudian dipakai oleh auditor untuk mengevaluasi bukti audit yang dikumpulkan dalam membuktikan berbagai asersi yang terkandung dalam akun-akun aktiva dalam neraca. Misalnya, auditor  kemudian menentukan salah saji sebesar Rp3.000.000 dalam akun sediaan. Apakah dengan penemuan ini auditor kemudian mengambil kesimpulan bahwa laporan keuangan sebagai keseluruhan berisi salah saji material, tidak semudah itu pertimbangannya. Auditor akan menjumlah berbagai kekeliruan yang ditemukan dalam audit atas berbagai akun yang termasuk dalam kelompok aktiva. Misalnya, auditor mengumpulkan salah saji yang terdapat dalam akun-akun yang termasuk dalam kelompok aktiva berikut ini:
Salah saji dalam akun sediaan                       Rp     3.000.000
Salah saji dalam akun-akun aktiva lain                   8.000.000
Jumlah salah saji                                            Rp  11.000.000





 
Bagaiman kesimpulan auditor tentang materialitas, Ada dua kemungkinan yang ditempuh oleh auditor:[19]
a)        Dengan berbagai alasan tertentu, auditor dapat menaikan batas materialitas yang ditentukan dari jumlah Rp9.000.000  pada tahap perencaan auditnya menjadi Rp11.000.000 untuk mengevaluasi bukti audit. Hal ini kemungkinan disebabkan jumlah aktiva yang dipakai sebagai dasar penentuan materialitas pada tahap perencanaan berbeda dengan jumlah aktiva yang dapat dalan laporan keuangan akhir, sehingga persentase materialitas diterapkan pada jumlah yang berbeda.
b)        Auditor berkesimpulan bahwa laporan keuangan sebagaikeseluruhan tidak disajikan secara wajar karena salah saji Rp11.000.000 melebihi jumlah materialitas Rp9.000.000. oleh karena itu, berdasarkan pertimbangan materialitasini, auditor dapat meyakinkan kliennya untuk melakukan koreksi atas jumlah salah saji yang terdapat dalam akun-akun yang pendapatnya dari pendapat wajar tanpa pengecualian menjadi pendapat wajar dengan pengecualian atau pendapat tidak wajar.

D.      Hubungan Antara Materialitas dengan Bukti Audit
Materialitas merupakan satu di antara berbagai faktor yang mempengaruhi pertimbangan auditor tentang kecukupan bukti audit. Dalam membuat generalisasi hubungan antara materialisasi dengan bukti audit, perbedaan istilah materialitas dan saldo akun material harus tetap diperhatikan. Semakin rendah tingkat materialitas, semakin besar jumlah bukti untuk memperoleh keyakinan memadai bahwa saldo sediaan yang tercatat tidak disajikan salah lebih dari Rp200.000. semakin besar atau semakin signifikan suatu saldo akun, semakin banyak jumlah bukti yang diperlukan. Sebagai contoh, lebih banyak  bukti diperlukan untuk sediaan yang berjumlah 30% dari total aktiva dibandingkan bila sediaan hanya berjumlah 10% dari total aktiva.[20]
E.      Risiko Audit
Risiko audit adalah risiko bagi auditor untuk membuat kesalahan dalam memberikan pendapat atas laporan keuangan, karena gagal mengungkap salah saji material.[21]
Menurut SA Seksi 312 Risiko Audit dan Materialitas dalam Pelaksanaan Audit, risiko audit adalah risiko yang terjadi dalam hal auditor, tanpa disadari, tidak memodifikasi pendapatnya sebagaimana mestinya, atas suatu laporan keuangan yang mengandung salah saji material. Semakin pasti auditor dalam menyatakan pendapatnya, semakin rendah risiko audit yang auditor bersedia untuk menanggungnya.[22]
Auditor merumuskan suatu pendapat atas laporan keuangan sebagai keseluruhan atas dasar bukti yang diperoleh dari verivikasi asersi yang berkaitan dengan saldo akun secara individual atau golongan transaksi. Tujuannya adalah untuk membatasi risiko audit pada tingkat saldo akun sedemikian rupa sehingga pada akhir proses audit, risiko audit dalam menyatakan pendapat atas laporan keuangan sebagai keseluruhan akan berada pada tingkat yang rendah.[23]

F.      Risiko Audit pada Tingkat Laporan Keuangan dan Tingkat Saldo Akun
Kenyataan bahwa auditor tidak dapat memberikan jaminan tentang ketepatan informasi yang disajikan oleh klien dalam laporan keuangan mengharuskan auditor mempertimbangkan baik materialitas maupun risiko audit, tanpa disadari, tidak memodifikasi pendapatnya sebagaimana mestinya, atau suatu laporan keuangan yang mengandung salah saji material. Risiko audit, seperti materialitas, dibagi menjadi dua bagian:[24]
1.    Risiko Audit Keseluruhan
Pada tahap perencanaan auditnya, auditor pertama kali harus menentukan risiko audit keseluruhan yang direncanakan, yang merupakan besarnya risiko yang dapat ditanggung oleh auditor dalam menyatakan bahwa laporan keuangan disajikan secara wajar, padahal kenyataannya, laporan keuangan tersebut berisi salah saji material.
2.    Risiko Audit Individual
Karena audit mencakup pemeriksaan terhadap akun-akun secara individual, risiko audit keseluruhan harus dialokasikan kepaada akun-akun yang berkaitan. Risiko audit individual perlu ditentukan untuk setiap akun karena akun tertentu seringkali sangat penting karena besar saldonya atau frekuensi transaksi perubahan.

G.     Unsur Risiko Audit
Terdapat tiga unsur risiko audit: (1) risiko bawaan, (2) risiko pengendalian,  (3) risiko deteksi.[25]
(1)   Risiko Bawaan, yakni risiko bawaan adalah kerentanan suatu saldo akun atau golongan transaksi terhadap suatu salah saji material, dengan asumsi bahwa tidak terdapat pengendalian yang terkait. Risiko salah saji demikian adalah lebih besar pada saldo akun atau golongan transaksi tertentu dibandingkan dengan yang lain. Sebagai contoh, perhitungan yang rumit lebih mungkin disajikan salah jika dibandingkan dengan perhitungan yang sederhana. Uang tunai lebih mudah dicuri daripada sediaan batu bara. Akun yang terdiri dart jumlah yang berasal dart estimasi akuntansi cenderung mengandung risiko lebih besar dibandingkan dengan akun yang sifatnya relatif rutin dan berisi data berupa fakta. Faktor ekstern juga mempengaruhi risiko bawaan.
(2)   Risiko Pengendalian, yakni Risiko pengendalian adalah risiko yang terjadinya salah saji material dalam suatu asersi yang tidak dapat dicegah atau dideteksi secara tepat waktu oleh pengendalian intern entitas. Risiko ini ditentukan oleh evektifitas kebijakan dan prosedur pengendalian intern untuk mencapai tujuan umum pengendalian intern yang relevan dengan audit atas laporan keuangan entitas. Risiko pengendalian tertentu akan selalu ada karena keterbatasan bawaan dalam setiap pengendalian intern. Sebagai contoh, pengendalian intern mungkin menjadi tidak evektif karena kelalayan manusia akibat ceroboh atau bosan atau karena adanya kolosi diantara personel pelaksanaan.
(3)   Risiko Deteksi, yakni Risiko yang disebabkan oleh kegagalan auditor dalam mendeteksi salah saji material, setelah audit dilaksanakan sesuai dengan standar auditing. Risiko ini timbul sebagian karena ketidakpastian yang ada pada waktu auditor tidak memeriksa 100% saldo akun atau golongan transaksi, dan sebagian lagi karena ketidakpastian lain yang ada, walaupun saldo akun atau golongan transaksi tersebut diperiksa 100%. Ketidakpastian lain semacam itu timbul karena auditor mungkin memilih suatu prosedur audit yang tidak sesuai, menerapkan secara keliru prosedur yang semestinya, atau menafsirkan secara keliru hasil audit. Ketidakpastian lain ini dapat dikurangi sampai pada tingkat yang dapat diabaikan melalui perencanaan dan supervisi memadai dan pelaksanaan praktik audit yang sesuai dengan standar pengendalian mutu.
H.      Hubungan Antarunsur Risiko
Risiko bawaan, risiko pengendalian, dan risiko deteksi. Kedua risiko yang disebut terdahulu ada, terlepas dari dilakukan atau tidaknya audit atas laporan keuangan, sedangkan risiko deteksi berhubungan dengan prosedur audit dan dapat diubah oleh keputusan auditor itu sendiri. Risiko deteksi mempunyai hubungan yang terbalik dengan risiko bawaan dan risiko pengendalian. Semakin kecil risiko bawaan dan risiko pengendalian yang diyakini oleh auditor, semakin besar risiko deteksi yang dapat diterima. Sebaliknya, semakin besar adanya risiko bawaan dan risiko pengendalian yang diyakini auditor, semakin kecil tingkat risiko deteksi yang dapat diterima.[26]
Komponen risiko audit ini dapat ditentukan secara kuantitatif, seperti dalam bentuk persentase atau secara nonkuantitatif yang berkisar, misalnya, dari minimum sampai dengan maksimum. Resiko Deteksi adalah satu-satunya resiko yang bisa dipengaruhi/diatur oleh auditor, lewat banyak atau sedikitnya bukti dengan penambahan atau pengurangan prosedur audit . Apabila auditor ingin resiko deteksi kecil, maka perlu lebih banyak bukti audit/prosedur audit, dan sebaliknya.
I.       Hubungan antara Materialitas, Risiko Audit, dan Bukti Audit
Di muka telah diuraikan bahwa terdapat hubungan berlawanan antara materialitas dan bukti audit. Jika materialitas rendah-jumlah salah saji yang kecil saja dapat mempengaruhi keputusan pemakai informasi keuangan-auditor perlu mengumpulkan bukti audit kompeten dalam jumlah banyak. Sebaliknya, jika materialitas tinggi-jumlah salah saji besar baru dapat mempengaruhi keputusan pemakai informasi keuangan-auditor hannya perlu mengumpulkan bukti audit komponen dalam jumlah sedikit. Demikian pula hubungan antara risiko audit dengan bukti audit. Semakin rendah risiko audit-auditor bersedia untuk menanggung risiko audit rendah sehingga tingkat kepastian yang diinginkan oleh auditor adalah tinggi-auditor perlu mengumpulkan bukti audit kompenen dalam jumlah banyak. Sebaliknya, semakin tinggi risiko audit-auditor bersedia untuk menanggung risiko audit tinggi sehingga tingkat kepastian yang diinginkan oleh auditor adalah rendah-auditor perlu mengumpulkan bukti audit kompenen dalam jumlah kecil saja.[27]
Berbagai kemungkinan hubungan antara materialitas, bukti audit, dan risiko audit digambarkan sebagai berikut:[28]
a)        Jika auditor mempertahankan risiko audit konstan dan tingkat materialitas dikurangi, auditor harus menambah jumlah bukti audit yang dikumpulkan.
b)        Jika auditor mempertahankan tingkat materialitas konstan dan mengurangi jumlah bukti audit yang dikumpulkan, risiko audit menjadi meningkat.
c)        Jika auditor menginginkan untuk mengurangi risiko audit.



BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Materialitas adalah besarnya suatu penghapusan atau salah saji informasi keuangan yang, dengan memperhitungkan situasinya, menyebabkan pertimbangan yang dilakukan oleh orang yang mengandalkan pada informasi  tersebut akan berubah atau terpengaruh oleh penghapusan atau salah saji tersebut. Materialitas merupakan satu di antara berbagai faktor yang mempengaruhi pertimbangan auditor tentang kecukupan bukti audit.
Risiko audit adalah risiko yang terjadi dalam hal auditor, tanpa disadari, tidak memodifikasi pendapatnya sebagaimana mestinya, atas suatu laporan keuangan yang mengandung salah saji material. Semakin pasti auditor dalam menyatakan pendapatnya, semakin rendah risiko audit yang auditor bersedia untuk menanggungnya. Berbagai kemungkinan hubungan antara materialitas, bukti audit, dan risiko audit, yakni (1) Jika auditor mempertahankan risiko audit konstan dan tingkat materialitas dikurangi, auditor harus menambah jumlah bukti audit yang dikumpulkan. (2) Jika auditor mempertahankan tingkat materialitas konstan dan mengurangi jumlah bukti audit yang dikumpulkan, risiko audit menjadi meningkat. (3) Jika auditor menginginkan untuk mengurangi risiko audit.







DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Mulyadi,  Auditing, Jakarta,  Salemba Empat, 2013.
Internet:













[2]  Mulyadi, Auditing, (Jakarta: Salemba Empat, 2013), h. 158
[3]  Ibid.
[4]  Ibid., h. 159
[5]  Ibid.
[7]  Mulyadi, Auditing, op.cit., h. 159
[8]  Ibid., h. 160
[9]  Ibid., h. 161
[10]  Ibid.
[12]  Mulyadi, Auditing, op.cit., h. 162
[13]  Ibid.
[14]  Ibid.
[15]  Ibid., h. 163
[16]  Ibid., h. 163-164
[17]  Ibid.
[18]  Ibid.
[19]  Ibid., h. 164-165
[20]  Ibid., h. 165
[23]  Ibid.
[24]  Mulyadi, Auditing, op.cit., h. 166
[26]  Ibid.
[27]  Mulyadi, Auditing, op.cit., h. 171
[28]  Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Penusukan Syekh Al Jabir

  Penulis Kontributor Lampung, Tri Purna Jaya | Editor David Oliver Purba LAMPUNG   KOMPAS.com – Ulama dan pendakwah Syekh Ali Jaber meminta...