Kharāj
Sebagai Instrumen Pendapatan Keuangan Publik Dalam Islam
Oleh; Akhmad Gazali; Kursani; Muhammad Akbar
A. Pendahuluan
Pada tahun-tahun
awal sejak dideklarasikan sebagai sebuah negara, Madinah hampir tidak memiliki
sumber pemasukan ataupun pengeluaran negara.Seluruh tugas negara dilaksanakan
kaum muslimin secara gotong royong dan sukarela. Untuk memenuhi kebutuhan hidup
diri dan keluarganya, mereka memperoleh pendapatan dari berbagai sumber yang
tidak terikat.[1] Namun,
situasi tersebut berubah setelah turunnya Surah al-Anfāl (rampasan perang)
pada tahun kedua Hijriyah.[2]
Salah satu sumber
pendapatan negara pada masa awal pemerintahan Islam ialah kharāj. Kharāj yaitu pajak atas tanah yang dipungut
kepada non-muslim ketika Khaibar ditaklukkan, pada tahun ke-7 Hijriyah. Jumlah kharāj
dari tanah ini tetap, yaitu setengah dari hasil produksi.[3]
Mulai saat itu kharāj menjadi salah satu instrumen pendapatan keuangan
pemerintahan Islam yang memiliki peran besar, terutama ketika wilayah kekuasaan
Islam semakin luas.
Permasalahannya adalah apakah kharāj masih
ada dalam perekonomian modern saat ini, sehingga juga bisa menjadi sumber
pendapatan negara yang memiliki peran besar bagi pembangunan. Jika ada, apakah
mekanismenya masih sama dengan masa pemerintahan Rasulullah Saw dan para
khalifah?
Maka dari itu, pemakalah akan merumuskan masalah
mengenai definisi kharāj serta bagaimana mekanisme kharāj? Lalu
bagaimana sejarah yang melatarbelakangi timbulnya kharāj dan kebijakan
apa saja yang diambil pemimpin tentang kharāj sepanjang sejarah dalam
Islam? Dan terakhir bagaimana konseptualisasi kharāj dalam konteks
modern?
B. Pembahasan
1.
Definisi Kharāj
Kharāj (pajak) dalam
bahasa Arab adalah kata lain dari al-kara’ (sewa) dan al-gullah (hasil). Sebagaimana firman
Allah Swt:[4]
ôQr&öNßgè=t«ó¡n@%[`öyzßl#tysùÎn/u×öyz(uqèdurçöyztûüÏ%κ§9$#ÇÐËÈ
Artinya: “Atau kamu meminta upah kepada
mereka?", maka upah dari Tuhanmu[1013][5]adalah lebih baik, dan Dia adalah pemberi
rezki yang paling baik”. (QS. Al-Mu’minun: 72)[6]
Setiap tanah yang diambil dari kaum kafir dengan cara paksa setelah
diumumkan perang terhadap mereka, maka tanah tersebut dikategorikan sebagai
tanah kharājiyyah. Tanah kharājiyyah adalah tanah yang diwajibkan
pembayaran pajaknya karena pada mulanya tanah-tanah itu milik orang kafir yang
dibuka secara paksa oleh pasukan kaum muslimin, kemudian imam (pemimpin)
memberikan tanah itu kepada pemiliknya kembali untuk dimanfaatkan setelah
pemilik tanah itu dikenai kewajiban membayar upeti karena mereka tidak mau
masuk Islam. Tanah tersebut dikenai pajak, baik pemiliknya masuk Islam maupun
tidak setelah itu. Demikianlah pendapat Abu Hanifah.[7]
Dalam terminologi keuangan Islam, kharāj adalah pajak atas tanah
atau hasil tanah, di mana para pengelola wilayah taklukan harus membayar kepada
negara Islam. Negara Islam setelah penaklukan adalah pemilik atas wilayah itu,
dan pengelola harus membayar sewa kepada negara Islam. Para penyewa ini
menanami tanah untuk pembayaran tertentu dan memelihara sisa hasil panennya
untuk diri mereka sendiri. Jadi, kharāj ibarat penyewa atau pemegang
kontrak atas tanah atau pengelola yang membayar pajak kepada pemiliknya.
Apabila jizyah[8]ditetapkan
berdasarkan nash Al-Quran, maka kharāj ditetapkan berdasarkan ijtihad.[9]
Tanah kharājiyyah adalah tanah yang dikuasai kaum muslimin melalui
peperangan (al-harb), misalnya tanah Irak, Syam (Syiria), dan Mesir
kecuali jazirah Arab, atau tanah yang dikuasai melalui perdamaian (al-shulhu),
misalnya tanah Bahrain dan Khurasan. Tanah kharājiyyah ini zatnya adalah
milik seluruh kaum muslimin, di mana negara melalui bait al-māl bertindak
mewakili kaum muslimin.[10]
2. Sejarah Kharāj
Pengelolaan tanah kharāj dalam sejarah Islam pertama kali muncul pada
tahun ke-7 Hijriyah, yaitu saat kaum muslimin berhasil menguasai Khaibar di
bawah kepemimpinan Rasulullah Saw. Penguasaan wilayah ini dilakukan karena
penduduknya menentang dan memerangi kaum muslimin. Setelah melewati masa
pertempuran selama sebulan, penduduk Khaibar menyerah dengan syarat dan
berjanji meninggalkan tanahnya. Syarat yang mereka ajukan diterima oleh
Rasulullah. Mereka mengatakan kepada Rasulullah Saw bahwa mereka memiliki
pengalaman khusus dalam bertani dan berkebun kurma. Oleh karena itu, mereka
meminta izin untuk tetap tinggal serta mengolah tanah tersebut.[11]
Rasulullah Saw mengabulkan permintaan mereka dan memberikan setengah bagian
dari hasil panen kebun mereka. Untuk mengatur pelaksanaan keputusannya
tersebut, Rasulullah Saw mengangkat Abdullah bin Rawahah sebagai pengawas.
Dalam hal ini, Abdullah bin Rawahah diberi wewenang mengatur kembali pemukiman
penduduk Khaibar, mengatur pembagian tenaga kerja yang mengolah dan menggarap
tanah Khaibar serta menerapkan sistem bagi hasil. Setiap tahun, ia datang ke
Khaibar untuk menaksir hasil produksi dan membaginya menjadi dua bagian yang
sama banyak. Hal ini terus berlangsung selama masa kepemimpinan Rasulullah Saw
dan Abu Bakar As-Siddiq.[12]
Pada hakikatnya, sistem pajak kharāj sudah ada pada masa kekaisaran
Romawi dalam bentuk yang sama dan hal ini merupakan fakta bahwa pembayaran
pajak adalah hal yang sudah biasa diterapkan pada masa kekaisaran Sasanid dan
Persia. Oleh kaum muslimin di masa awal pemerintahan Islam, sistem pajak
tersebut diadopsi serta dimodifikasi sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan.
Dalam perkembangan berikutnya, kharāj menjadi salah satu sumber
pendapatan negara yang terpenting.[13]
3.
Mekanisme Kharāj
Kharāj merujuk pada pendapatan yang diperoleh dari biaya sewa atas tanah pertanian
dan hutan milik Islam. Jika tanah yang diolah dan kebun buah-buahan yang
dimiliki non-muslim jatuh ke tangan orang Islam akibat kalah dalam pertempuran,
aset tersebut menjadi bagian dari harta milik umat Islam. Karena itu, siapapun
yang ingin mengolah lahan tersebut harus membayar sewa. Pendapatan dari sewa
inilah yang termasuk dalam lingkup kharāj.[14]
Jika terjadi konfrontasi antara orang-orang muslim dengan orang-orang kafir
yang berakhir damai, maka mereka membuat perjanjian damai untuk menentukan
apakah lahan yang diolah tetap menjadi milik orang kafir ataukah diserahkan
kepada muslim. Dalam kasus pertama, untuk mempertahankan hak miliknya,
orang-orang kafir biasanya membayar kharāj yang memiliki karakteristik
pajak, dan bukan sewa, karena tanah tersebut tetap menjadi miliknya. Jika
tanah-tanah tersebut menjadi milik orang-orang muslim, pajak tanah yang ditarik
dipandang sebagai ongkos sewa atas tanah tersebut.[15]
Dalam pandangan hukum Islam, pajak atas tanah yang dilindungi oleh
perjanjian damai berbeda dengan pajak atas tanah hasil penaklukan dengan
paksaaan. Tanah yang terakhir disebut menjadi milik orang-orang muslim, tetapi
tanah yang pertama biasanya tetap berada pada kepemilikannya sebelumnya, orang
non-muslim. Ketika memeluk Islam, orang-orang kafir itu dibebaskan dari
kewajiban membayar pajak tanah.[16]
Dari sisi subjek (wajib pajaknya), kharāj dikenakan atas orang kafir
dan juga muslim (karena membeli tanah kharājiyyah). Apabila orang kafir
yang mengelola tanah kharāj masuk Islam, maka ia tetap dikenai kharāj
sebagaimana keadaan sebelumnya. Seorang muslim boleh membeli tanah kharāj
dari seorang kafir zimmi[17]
dan dia tetap dikenakan kharāj (menurut Mazhab Syafi’i).[18] Ketika kharāj dan‘usyr[19]
harus dibayar bersama-sama pada satu tanah. Yaitu jika ada tanah kharājiyyah
yang dikuasai melalui perang (akan terkena kharāj abadi), lalu tanah
itu dijual kepada orang muslim (akan terkena kharāj). Dalam kondisi ini,
kharāj dibayar lebih dulu dari hasil tanah pertaniannya. Lalu jika
sisanya masih mencapai nishāb, zakat pun wajib dikeluarkan.[20]
Para fuqaha berselisih pendapat mengenai zakat tanah berpajak apabila ia
dimilki oleh orang muslim; apakah kewajibannya hanya mengeluarkan pajak saja,
ataukah dia harus mengeluarkan secara bersamaan zakat dan pajak; ataukah
pajaknya cukup diganti dengan zakat sebesar sepersepuluh? Mazhab Hanafi
mengatakan, “Tanah berpajak hanya
diwajibkan membayar pajaknya dan tidak diwajibkan membayar zakat penghasilannya
sebesar sepersepuluh. Pajak dan zakat sepersepuluh tidak dapat terjadi
dalam satu tanah”. Sedangkan pendapat jumhur ulama mengatakan, “Tanah berpajak harus membayar zakat
sepersepuluh di samping keharusan membayar pajaknya”.[21]
Pendapat yang kuat adalah pendapat jumhur ulama karena pajak dan zakat
adalah dua hakikat yang sama sekali berbeda, zat, tempat, sebab, pembayaran,
dan dalilnya. Dari segi zatnya, pajak berbeda dengan zakat sepersepuluh karena
zakat memiliki muatan makna ibadah, sedangkan pajak membawa konsekuensi sanksi
bila tidak dibayar. Dari segi pembayaran dan peruntukannya berbeda, karena
zakat dibayarkan kepada kaum fakir miskin, sedangkan pajak digunakan untuk
membangun dan memelihara kepentingan-kepentingan umum atau peperangan. Dan dari
segi dalilnya keduanya berbeda karena ada nash yang mengharuskan pembayaran
sepersepuluh, sedangkan pajak ditetapkan oleh ijtihad yang didasarkan atas
adanya berbagai kepentingan umum yang harus diadakan.[22]
Sementara itu dari segi metode penetapan kharāj, Al-Mawardi
berpendapat bahwa penilaian atas kharāj harus sesuai dengan
faktor-faktor yang menentukan kemampuan tanah dalam membayar pajak, yaitu kesuburan
tanah, jenis tanaman, dan sistem irigasi. Menurutnya, kesuburan tanah merupakan
faktor yang sangat penting dalam melakukan penilaian kharāj karena
sedikit-banyaknya jumlah produksi bergantung padanya. Jenis tanaman juga turut
berpengaruh terhadap penilaian kharāj karena berbagai jenis tanaman
mempunyai variasi harga yang berbeda-beda. Begitu pula halnya dengan sistem
irigasi. Tanaman yang menggunakan sistem irigasi secara manual tidak dapat
dikenai sejumlah pajak yang sama dengan tanaman yang menggunakan sistem irigasi
alamiah.[23]
Di samping ketiga faktor tersebut, Al-Mawardi juga mengungkapkan faktor
yang lain, yaitu jarak antara tanah yang menjadi objek kharāj dengan
pasar. Faktor terakhir ini juga sangat relevan karena tinggi-rendahnya harga
berbagai jenis bergantung pada jarak tanah dari pasar.[24]
Tentang metode penetapan kharāj,
Al-Mawardi menyarankan untuk menggunakan salah satu dari tiga metode yang
pernah diterapkan dalam sejarah Islam, yaitu:[25]
a. Metode misāhah, yaitu metode penetapan kharāj
berdasarkan ukuran tanah. Metode ini merupakan fixed-tax, terlepas
dari apakah tanah tersebut ditanami atau tidak, selama tanah tersebut memang
bisa ditanami.
b. Metode penetapan kharāj berdasarkan
ukuran tanah yang ditanami saja. Dalam metode ini, tanah subur yang tidak
dikelola tidak masuk dalam penilaian objek kharāj.
c. Metode muqāsamah, yaitu metode penetapan kharāj berdasarkan
persentase dari hasil produksi (proportional tax). Dalam metode ini,
pajak dipungut setelah tanaman mengalami masa panen.
Bukti sejarah
menyebutkan bahwa pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, kharāj dari
tanah hasil penaklukan tergantung pada tingkat kesuburan, lokasi, serta
lingkungan tempat tanah itu berada dan hal ini sangat identik dengan jumlah
sewa atas tanah tersebut. Ketika berhasil menaklukan wilayah Mesopotamia kecil,
Khalifah Umar bin Khattab mengirim beberapa orang ke daerah tersebut untuk
melaksanakan suatu misi yang terdiri atas Ammar bin Yusir yang ditugaskan
sebagai juru dakwah, Ibnu Mas’ud yang ditugaskan sebagai hakim dan memelihara
negara, serta Usman bin Hanif yang ditugaskan untuk mensurvei batas-batas
tanah. Tanah yang disurvei berkisar sekitar 150 juta jarib[26].
Tanah tersebut, baik yang telah diolah maupun yang akan diolah, dipungut
pajaknya berdasarkan karakteristik-karakteristik tertentu. Sisanya, lahan yang
tidak dapat diolah dan lahan yang dijadikan tempat tinggal atau pemukiman
dibebaskan dari kharāj.[27]
Secara ilmiah,
jumlah pajak tanah di daerah Mesopotamia kecil bervariasi dari satu daerah ke
daerah lain dan dari satu tempat ke tempat lain. Menurut sebuah riwayat,
Khalifah Umar bin Khattab memunggut pajak atas setiap jarib dari tanah
pertanian gandum sebesar satu dirham[28]
plus satu qafiz[29],
pada buah-buahan sebesar sepuluh dirham[30].
Riwayat lain menyebutkan bahwa beliau memungut pajak delapan dirham[31]
atas setiap jarib lahan kurma, enam dirham[32]
atas jarib lahan tebu, dan empat dirham[33]
atas setiap jarib lahan gandum.
4.
Analisis Kebijakan tentang Kharāj
Sepanjang Sejarah dalam Islam
a.
Masa Rasulullah Saw
Pada masa pemerintahannya, Rasulullah Saw
menerapkan jizyah, yakni pajak yang dibebankan kepada orang-orang non-muslim,
khususnya ahli kitab, sebagai jaminan perlindungan jiwa, harta milik, kebebasan
menjalankan ibadah, serta pengecualian dari wajib militer. Besarnya jizyah adalah satu dinar pertahun untuk setiap orang
laki-laki dewasa yang mampu membayar. Perempuan, anak-anak, pengemis, pendeta,
orang tua, penderita sakit jiwa dan semua yang menderita penyakit dibebaskan
dari kewajiban ini.[34]
Disamping
itu, Rasulullah Saw juga menerapkan sistem kharāj,
yaitu pajak tanah yang dipungut dari kaum non-muslim ketika wilayah Khaibar
ditaklukkan, tanah hasil taklukan diambil alih oleh kaum muslimin dan pemilik
lamanya diberi hak untuk mengolah tanah tersebut dengan status sebagai penyewa
dan bersedia memberikan separo hasil produksinya kepada negara. Rasulullah Saw mengirim orang-orang yang ahli untuk menaksir jumlah keseluruhan hasil
produksi. Setelah mengurangi sepertiga sebagai konpensasi dari kemungkinan
kelebihan penaksiran, dan sisanya yang duapertiga dibagi-bagikan, setengahnya
untuk negara dan setengahnya untuk para penyewa. Dalam perkembanganya, kharāj menjadi sumber pemasukan bagi negara.[35]
Dari
sisi subjek (wajib pajaknya) kharāj
dikenakan atas orang kafir dan juga muslim (karena membeli tanah kharājiyyah).
Apabila orang kafir yang mengelola kharāj
masuk islam, maka ia tetap dikenai kharāj
sebagaimana keadaan sebelumnya. Seorang muslim boleh
membeli tanah kharāj dari seorang kafir zimmi
dan dia tatap dikenakan kharāj. Jika seorang kafir
masuk islam, maka tanah itu tatap menjadi miliknya, dan mereka wajib membayar
10% dari hasil buminya sebagai zakat, bukan sebagai kharāj.[36]
Dari
sisi objek kharāj dikenakan pada tanah (pajak tetap) dan hasil tanah
(pajak proporsional) yang terutma ditaklukkan oleh kekuatan senjata, terkepas
apakah si pemilik itu seorang yang dibawah umur, seorang dewasa, seorang bebas,
budak, muslim ataupun non-muslim. Kharāj
dikenakan atas seluruh tanah didaerah yang ditaklukkan dan tidak dibagikan
kepada anggota pasukan perang oleh negara diniarkan dimiliki oleh bpemilik awal
atau dialokasikan kepada petani non-muslim dari mana saja.[37]
b. Masa Khalifah Umar bin Khattab
Selama pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab,
wilayah kekuasaan Islam semakin luas seiring dengan banyaknya daerah-daerah
yang berhasil ditaklukkan, baik melalui peperangan maupun secara damai. Hal ini
menimbulkan berbagai permasalahan baru. Pertanyaan yang paling mendasar dan
utama adalah kebijakan apa yang diterapkan negara terhadap kepemilikan
tanah-tanah yang berhasil ditaklukkan tersebut.[38]
Setelah melalui debat yang panjang dan dengan didukung sejumlah sahabat
lainnya, Khalifah Umar bin Khattab memutuskan untuk memperlakukan tanah-tanah
tersebut sebagai fay[39],
dan prinsip yang sama diadopsi untuk kasus-kasus yang akan datang. Dalam
memperlakukan tanah-tanah taklukan, Khalifah Umar bin Khattab tidak membagi-bagikannya
kepada kaum Muslimin, tetapi membiarkan tanah tersebut tetap berada pada
pemiliknya dengan syarat membayar kharāj
dan jizyah.[40]
Dalam hal kharāj, Khalifah Umar bin Khattab menerapkan beberapa
peraturan sebagai berikut:[41]
1) Wilayah Irak yang ditaklukkan dengan kekuatan
menjadi milik orang muslim dan kepemilikan ini tidak dapat diganggu gugat
sedangkan bagian wilayah yang berada di bawah perjanjian damai tetap dimiliki
oleh pemilik sebelumnya dan kepemilikan tersebut dapat dialihkan.
2) Kharāj dibebankan kepada semua tanah yang berada di
bawah kategori pertama, meskipun pemilik tanah tersebut memeluk agama Islam. Dengan demikian, tanah seperti itu tidak dapat dikonversi menjadi tanah ‘usyr.
3) Bekas pemilik tanah diberi hak kepemilikan
selama mereka membayar kharāj dan jizyah.
4) Tanah yang tidak ditempati atau ditanami
(tanah mati) bila diolah oleh kaum muslimin diperlakukan sebagai tanah ‘usyr.
5) Di Sawad, kharāj dibebankan sebesar
satu dirham dan satu qafiz gandum dan barley (sejenis gandum)
dengan asumsi tanah tersebut dapat dilalui air. Harga yang lebih tinggi
dikenakan kepada ratbah (rempah atau cengkeh) dan perkebunan.
c. Khalifah Ali bin Abu Thalib
Pada masa pemerintahan
Khalifah Ali bin Abu Thalib , kharāj yang dipungut atas lahan gandum
yang sangat produktif sebanyak satu setengah dirham[42]
ditambah satu sha’[43]
per jarib, lahan yang cukup produktif sebesar satu dirham dan lahan yang
kurang produktif sebesar sepertiga dirham[44].
Ketiga jenis lahan tersebut diirigasi oleh Sungai Eufrat. Sama halnya dengan
yang tadi, pada setiap jarib lahan yang ditanami barley (jenis
gandum) dikenakan kharāj setengah dari hasil gandum, pada jarib
pohon kurma dikenai sepuluh dirham, dan pada setiap jarib kebun anggur
dikenai sepuluh dirham. Produksi pertanian lainnya dibebaskan dari pemungutan kharāj.[45]
Dari uraian di
atas, dapat dipahami pada permulaan Islam jumlah pajak tanah yang dibebankan
berbeda-beda sesuai dengan kondisi lahan dan ongkos sewa. Salah satu faktor
yang menyebabkan kenaikan harga sewa adalah kesuburan dan produktivitas tanah.
Faktor berikutnya adalah jarak lahan dengan pasar dan kota pada sisi lainnya.
Faktor yang ketiga adalah produksi panen memiliki elastisitas pendapatan
terhadap permintaan yang lebih besar daripada yang lainnya.[46]
d. Khalifah Bani Umayyah
Tanah yang dikenakan kharāj ialah tanah yang dimiliki oleh orang bukan Islam dari negara yang ditaklukinya.
Contohnya jumlah uang yang
dipungut di Iraq melalui cukai kharāj
berjumlah lebih daripada seratus juta dirham[47].[48]
Jenis tanah yang dikecualikan daripada dikenakan cukai kharaj :[49]
1)
Tanah milik orang yang memeluk Islam tanpa sebarang peperangan. Golongan
ini hanya membayar zakat.
2)
Tanah yang dimiliki oleh orang Islam secara kekerasan atau melalui
peperangan dan telah dibahagikan kepada askar-askar yang berperang. Mereka
hanya dikenakan usyur (satu persepuluh ) tidak termasuk cukai kharāj.
3)
Tanah yang diambil daripada orang kafir secara kekerasan. Dan
apabila dibagikan kepada askar-askar yang berperang , maka mereka wajib
membayar ‘usyr (1/10 )
daripada hasil tanah tersebut dan mereka tidak perlu membayar cukai kharāj.
5. Konseptualisasi
Kharāj Dalam Konteks Modern
Dalam perekonomian modern saat ini, penerapan kharāj sama seperti
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), di mana PBB adalah pajak yang bersifat kebendaan
dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek, yaitu
bumi/tanah dan/atau bangunan. Keadaan subjek (siapa yang membayar) tidak ikut
menentukan besarnya pajak.[50]
Namun yang membedakan PBB dengan kharāj adalah dalam kharāj cenderung
digunakan dalam hal pertanian yang ditentukan dari tingkat kesuburan tanah,
jenis tanaman, dan irigasi, sedangkan PBB besar pajaknya ditentukan berdasarkan
zona lokasi tanah.[51]
Kalau dilihat dari sisi subjeknya, PBB ini jelas bertentangan dengan
syariat, karena kaum muslim ikut dibebankan atas tanah dan atau bangunan yang
mereka miliki, tempati, atau manfaatkan. Kalau diidentikkan dengan kharāj,
maka Indonesia bukanlah tanah kharājiyyah, yang ditaklukkan dengan
peperangan, sehingga warga muslim atas tanah itu tidak wajib membayar kharāj.
Khalifah Umar bin Khattab pun pernah melarang pengenaan kharāj terhadap
kaum muslim, dan memasukkan penerimaan hasil tanah sebagai zakat.[52]
Walaupun ada perbedaan jumlah pajak tanah pada setiap daerah, dan perbedaan
antara masa Khalifah Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib, pajak tanah selau
proporsional, sesuai dengan jenis panen dan kesuburan tanahnya. Dalam sebuah
riwayat, Yahya bin Adam bertanya kepada Hasan bin Salih tentang faktor yang
menimbukan perbedaan jumlah pajak pada setiap daerah. Ia menjawab bahwa hal
tersebut disebabkan oleh jauh dekatnya lahan dari pasar. Hal ini menunjukkan
bahwa jumlah pajak tanah sama besarnya dengan sewa. Sebagaimana telah dikatakan
sebelumnya, faktor produktivitas, kesuburan tanah serta dekatnya lahan dengan
pasar dapat menaikkan ongkos sewa.[53]
Karena telah dijelaskan sebelumnya bahwa kharāj adalah tanah
taklukan (kharājiyyah), kaum kafir wajib membayar kharāj. Jika
dijual kepada kaum muslim, ia tetap dikenakan karena status tanah kharājiyyah
tersebut, meskipun nilainya berubah menjadi zakat. Terhadap tanah kharāj
dan tanahkharājiyyah (negeri taklukkan yang penduduknya telah masuk
Islam) seperti Irak, Syam, Mesir, Libya, Aljazair, Maroko, Albania, Bosnia,
negeri-negeri di Asia Tengah, maka di sana berlaku kharāj (the land
tax) sampai kiamat.[54]
Sedangkan terhadap negeri yang penduduknya masuk Islam seperti Indonesia,
atau tanah yang statusnya bukan tanah kharāj, maka kharāj tidak
berlaku, karena tanah tersebut merupakan tanah ‘usyriyyah yang wajib
dikeluarkan zakatnya. Seluruh potensi pemungutan atas hasil tanah, telah
terakumulasi dalam zakat.[55]
a. Atas kaum muslim Indonesia tidak boleh
dipungut Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), termasuk juga terhadap non-muslim.
Karena tanah yang mereka tinggali bukan termasuk tanah kharājiyyah.
b. Jika PBB memungut pajak terhadap tanah
dan/bangunan, maka hal ini adalah kezaliman. Sebab atas hasil usaha mereka
telah dipungut ‘usyr (zakat) bagi kaum muslim dan jizyah (pajak
kepala) bagi non-muslim.
c. Kharāj termasuk penerimaan negara resmi atas non-muslim
atas tanah kharājiyyah, namun karena Indonesia bukan termasuk tanah kharājiyyah,
maka PBB tidak boleh dipungut.
C.
Kesimpulan
Kharāj merupakan salah satu pendapatan negara pada masa awal
pemerintahan Islam. Setiaptanah yang diambil dari kaum kafir dengan cara paksa
setelah diumumkan perang terhadap mereka, maka tanah tersebut dikategorikan
sebagai tanah kharājiyyah, meskipun mereka masuk Islam setelah
penaklukan, atau singkatnya kharāj adalah pajak tanah yang dipungut dari
non-muslim.
Dalam sejarah Islam masa pengelolaan kharāj
pertama kali muncul ketika umat Islam di bawah kepemimpinan Rasulullah Saw
memenangkan perang Khaibar pada tahun 7 Hijriyah. Dan dalam perkembangan
berikutnya, kharāj menjadi salah satu sumber pendapatan negara yang
penting. Dalam metode penetapan kharāj, Al-Mawardi menyarankan untuk
menggunakan salah satu dari tiga metode penetapan kharāj dalam Islam,
yaitu metode misāhah, metode berdasarkan ukuran tanah yang ditanami
saja, atau metode muqāsamah.
Pada zaman
modern sekarang terutama di Indonesia, kharāj memiliki kesamaan dengan
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), namun yang membedakan adalah jika dalam kharāj
ditentukan dari tingkat kesuburan tanah, jenis tanaman, dan sistem irigasi,
sedangkan PBB ditentukan berdasarkan zona lokasi tanah itu berada. Atas kaum muslim
Indonesia tidak boleh dipungut Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), termasuk juga
terhadap non-muslim. Karena tanah yang mereka tinggali bukan termasuk tanah kharājiyyah.
Daftar Pustaka
A.
Buku
Al-Mawardi,
Al-Ahkam as-Sultaniyyah wa al-Wilāyāt ad-Dĩniyyah, diterjemahkan
oleh Fadli Bahri, Prinsip-Prinsip Penyelenggaraan Negara Islam, Jakarta,
Darul Falah, 2006, Cet. Ke-2.
Al-Quran dan Terjemahnya, Madinah, Mujamma’ al-Malik Fahd li
Thiba’at al-Mush-haf asy-Syarif, 1990.
Adiwarman A. Karim, Ekonomi Islam Suatu
Kajian Kontemporer, Jakarta, Gema Insani, 2001, Cet. Ke-1.
, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2007, Edisi
Ke-3.
Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah, Jakarta,
PT RajaGrafindo Persada, 2007, Edisi Ke-1.
Wahbah Al-Zuhayli, Al-Fiqh Al-Islami
Adillatuh, diterjemahkan oleh Agus Effendi; Bahruddin Fananny, Zakat:
Kajian Berbagai Mazhab, Bandung, PT Remaja Rosdakarya Offset, 1997, Cet.
Ke-3.
B. Internet
M. Shiddiq Al-Jawi, Hukum Pertanahan
Menurut Syariah Islam, http://khilafah1924.org/index.php?option=com_content&task=view&id=669.
Nur Syakira Nabila, Huraikan
Pentadbiran Cukai Kharaj Pada Zaman Khulafa’ Al- Rasyidin & Bani Umayyah, http://khilafah1924.org/index.php?option=com_content&task=view&.
http://ucupahmad69.blogspot.com/2013/05/sejarah-ekonomi-islam.html.
[1] Adiwarman A. Karim, Sejarah Pemikiran
Ekonomi Islam,(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), Edisi Ke-3, h. 37.
[5] [1013] yang dimaksudkan
upah dari Tuhan ialah rezki yang dianugrahkan Tuhan di
dunia, dan pahala di akhirat.
[6] Al-Quran dan Terjemahnya, (Madinah: Mujamma’ al-Malik Fahd li Thiba’at al-Mush-haf asy-Syarif,
1990), h. 534.
[7] Al-Zuhayli, Wahbah, Al-Fiqh Al-Islami Adillatuh, diterjemahkan oleh
Agus Effendi; Bahruddin Fananny, Zakat: Kajian Berbagai Mazhab,
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset, 1997), Cet. Ke-3, h. 208-209.
[8] Jizyah ialah pajak
perorangan yang dikenakan pada penduduk non-muslim, khususnya ahli kitab,
sebagai jaminan perlindungan jiwa, harta milik, kebebasan menjalankan ibadah,
serta pengecualian dari wajib militer. Sumber: Adiwarman A. Karim, Sejarah
Pemikiran Ekonomi Islam, op.cit., h.43.
[9] Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah, op.cit., h. 126.
http://khilafah1924.org/index.php?option=com_content&task=view&id=669. Diakses tanggal 05/10/2013, pukul 15.20 wita.
[17] Secara istilah, zimmi adalah orang non-muslim merdeka yang hidup
dalam negara Islam yang sebagai balasan karena membayar pajak perorangan,
menerima perlindungan dan keamanan. Sumber: http://id.www.wikipedia.org/wiki/Dzimmi. Diakses
tanggal 27/11/2013, pukul 07.45 wita.
[21] Al-Zuhayli, Wahbah, Al-Fiqh Al-Islāmi wa Adillatuh, op.cit.,
h. 210-211.
[26] Satu jarib kira-kira 8 acre (1 acre = 0,4646 hektar),
1 jarib = 3,7168 hektar. Sumber: Ibid., h. 108.
[28] Satu dirham = Rp. 64.323,-. Sumber: http://www.geraidinar.com .
Diakses tanggal 27/11/2013, pukul 08.34 wita.
[29] Satu qafiz kira-kira 48 kilogram. Sumber: Adiwarman A. Karim, Sejarah
Pemikiran Ekonomi Islam, op.cit., h. 109.
[34] http://ucupahmad69.blogspot.com/2013/05/sejarah-ekonomi-islam.html.
Diakses tanggal 05/12/2013, pukul 11.30 wita.
[39] Fay ialah harta rampasan yang diperoleh dari
non-muslim tanpa terjadinya pertempuran. Sumber: Hukum Seputar Fay, http://konsultasi.wordpress.com. Diakses tanggal 27/11/2013, pukul 08.10 wita.
[42] Satu setengah dirham = Rp. 64.323 (Satu dirham) + Rp. 32.161,5 (setengah
dirham) = Rp. 96.484,5.
[48] Nur Syakira Nabila, Huraikan Pentadbiran Cukai Kharaj
Pada Zaman Khulafa’ Al-
Rasyidin & Bani Umayyah, http://khilafah1924.org/index.php?option=com_content&task=view&.
Diakses tanggal 05/10/2013, pukul 11.20 wita.
[51] Adiwarman A. Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer,
(Jakarta: Gema Insani, 2001), Cet. Ke-1, h. 46.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar