Minggu, 31 Mei 2015

Kharāj Sebagai Instrumen Pendapatan Keuangan Publik Dalam Islam By Sani



Kharāj Sebagai Instrumen Pendapatan Keuangan Publik Dalam Islam
Oleh; Akhmad Gazali; Kursani; Muhammad Akbar

A.    Pendahuluan
            Pada tahun-tahun awal sejak dideklarasikan sebagai sebuah negara, Madinah hampir tidak memiliki sumber pemasukan ataupun pengeluaran negara.Seluruh tugas negara dilaksanakan kaum muslimin secara gotong royong dan sukarela. Untuk memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya, mereka memperoleh pendapatan dari berbagai sumber yang tidak terikat.[1] Namun, situasi tersebut berubah setelah turunnya Surah al-Anfāl (rampasan perang) pada tahun kedua Hijriyah.[2]
            Salah satu sumber pendapatan negara pada masa awal pemerintahan Islam ialah kharāj. Kharāj yaitu pajak atas tanah yang dipungut kepada non-muslim ketika Khaibar ditaklukkan, pada tahun ke-7 Hijriyah. Jumlah kharāj dari tanah ini tetap, yaitu setengah dari hasil produksi.[3] Mulai saat itu kharāj menjadi salah satu instrumen pendapatan keuangan pemerintahan Islam yang memiliki peran besar, terutama ketika wilayah kekuasaan Islam semakin luas.
            Permasalahannya adalah apakah kharāj masih ada dalam perekonomian modern saat ini, sehingga juga bisa menjadi sumber pendapatan negara yang memiliki peran besar bagi pembangunan. Jika ada, apakah mekanismenya masih sama dengan masa pemerintahan Rasulullah Saw dan para khalifah?
            Maka dari itu, pemakalah akan merumuskan masalah mengenai definisi kharāj serta bagaimana mekanisme kharāj? Lalu bagaimana sejarah yang melatarbelakangi timbulnya kharāj dan kebijakan apa saja yang diambil pemimpin tentang kharāj sepanjang sejarah dalam Islam? Dan terakhir bagaimana konseptualisasi kharāj dalam konteks modern?

B.     Pembahasan
1.      Definisi Kharāj
Kharāj (pajak) dalam bahasa Arab adalah kata lain dari al-kara’ (sewa) dan al-gullah (hasil). Sebagaimana firman Allah Swt:[4]
ôQr&öNßgè=t«ó¡n@%[`öyzßl#tysùšÎn/u׎öyz(uqèdurçŽöyztûüÏ%꧍9$#ÇÐËÈ
Artinya: “Atau kamu meminta upah kepada mereka?", maka upah dari Tuhanmu[1013][5]adalah lebih baik, dan Dia adalah pemberi rezki yang paling baik”. (QS. Al-Mu’minun: 72)[6]
Setiap tanah yang diambil dari kaum kafir dengan cara paksa setelah diumumkan perang terhadap mereka, maka tanah tersebut dikategorikan sebagai tanah kharājiyyah. Tanah kharājiyyah adalah tanah yang diwajibkan pembayaran pajaknya karena pada mulanya tanah-tanah itu milik orang kafir yang dibuka secara paksa oleh pasukan kaum muslimin, kemudian imam (pemimpin) memberikan tanah itu kepada pemiliknya kembali untuk dimanfaatkan setelah pemilik tanah itu dikenai kewajiban membayar upeti karena mereka tidak mau masuk Islam. Tanah tersebut dikenai pajak, baik pemiliknya masuk Islam maupun tidak setelah itu. Demikianlah pendapat Abu Hanifah.[7]
Dalam terminologi keuangan Islam, kharāj adalah pajak atas tanah atau hasil tanah, di mana para pengelola wilayah taklukan harus membayar kepada negara Islam. Negara Islam setelah penaklukan adalah pemilik atas wilayah itu, dan pengelola harus membayar sewa kepada negara Islam. Para penyewa ini menanami tanah untuk pembayaran tertentu dan memelihara sisa hasil panennya untuk diri mereka sendiri. Jadi, kharāj ibarat penyewa atau pemegang kontrak atas tanah atau pengelola yang membayar pajak kepada pemiliknya. Apabila jizyah[8]ditetapkan berdasarkan nash Al-Quran, maka kharāj ditetapkan berdasarkan ijtihad.[9]
Tanah kharājiyyah adalah tanah yang dikuasai kaum muslimin melalui peperangan (al-harb), misalnya tanah Irak, Syam (Syiria), dan Mesir kecuali jazirah Arab, atau tanah yang dikuasai melalui perdamaian (al-shulhu), misalnya tanah Bahrain dan Khurasan. Tanah kharājiyyah ini zatnya adalah milik seluruh kaum muslimin, di mana negara melalui bait al-māl bertindak mewakili kaum muslimin.[10]

2.      Sejarah Kharāj
Pengelolaan tanah kharāj dalam sejarah Islam pertama kali muncul pada tahun ke-7 Hijriyah, yaitu saat kaum muslimin berhasil menguasai Khaibar di bawah kepemimpinan Rasulullah Saw. Penguasaan wilayah ini dilakukan karena penduduknya menentang dan memerangi kaum muslimin. Setelah melewati masa pertempuran selama sebulan, penduduk Khaibar menyerah dengan syarat dan berjanji meninggalkan tanahnya. Syarat yang mereka ajukan diterima oleh Rasulullah. Mereka mengatakan kepada Rasulullah Saw bahwa mereka memiliki pengalaman khusus dalam bertani dan berkebun kurma. Oleh karena itu, mereka meminta izin untuk tetap tinggal serta mengolah tanah tersebut.[11]
Rasulullah Saw mengabulkan permintaan mereka dan memberikan setengah bagian dari hasil panen kebun mereka. Untuk mengatur pelaksanaan keputusannya tersebut, Rasulullah Saw mengangkat Abdullah bin Rawahah sebagai pengawas. Dalam hal ini, Abdullah bin Rawahah diberi wewenang mengatur kembali pemukiman penduduk Khaibar, mengatur pembagian tenaga kerja yang mengolah dan menggarap tanah Khaibar serta menerapkan sistem bagi hasil. Setiap tahun, ia datang ke Khaibar untuk menaksir hasil produksi dan membaginya menjadi dua bagian yang sama banyak. Hal ini terus berlangsung selama masa kepemimpinan Rasulullah Saw dan Abu Bakar As-Siddiq.[12]
Pada hakikatnya, sistem pajak kharāj sudah ada pada masa kekaisaran Romawi dalam bentuk yang sama dan hal ini merupakan fakta bahwa pembayaran pajak adalah hal yang sudah biasa diterapkan pada masa kekaisaran Sasanid dan Persia. Oleh kaum muslimin di masa awal pemerintahan Islam, sistem pajak tersebut diadopsi serta dimodifikasi sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan. Dalam perkembangan berikutnya, kharāj menjadi salah satu sumber pendapatan negara yang terpenting.[13]

3.      Mekanisme Kharāj
Kharāj merujuk pada pendapatan yang diperoleh dari biaya sewa atas tanah pertanian dan hutan milik Islam. Jika tanah yang diolah dan kebun buah-buahan yang dimiliki non-muslim jatuh ke tangan orang Islam akibat kalah dalam pertempuran, aset tersebut menjadi bagian dari harta milik umat Islam. Karena itu, siapapun yang ingin mengolah lahan tersebut harus membayar sewa. Pendapatan dari sewa inilah yang termasuk dalam lingkup kharāj.[14]
Jika terjadi konfrontasi antara orang-orang muslim dengan orang-orang kafir yang berakhir damai, maka mereka membuat perjanjian damai untuk menentukan apakah lahan yang diolah tetap menjadi milik orang kafir ataukah diserahkan kepada muslim. Dalam kasus pertama, untuk mempertahankan hak miliknya, orang-orang kafir biasanya membayar kharāj yang memiliki karakteristik pajak, dan bukan sewa, karena tanah tersebut tetap menjadi miliknya. Jika tanah-tanah tersebut menjadi milik orang-orang muslim, pajak tanah yang ditarik dipandang sebagai ongkos sewa atas tanah tersebut.[15]
Dalam pandangan hukum Islam, pajak atas tanah yang dilindungi oleh perjanjian damai berbeda dengan pajak atas tanah hasil penaklukan dengan paksaaan. Tanah yang terakhir disebut menjadi milik orang-orang muslim, tetapi tanah yang pertama biasanya tetap berada pada kepemilikannya sebelumnya, orang non-muslim. Ketika memeluk Islam, orang-orang kafir itu dibebaskan dari kewajiban membayar pajak tanah.[16]
Dari sisi subjek (wajib pajaknya), kharāj dikenakan atas orang kafir dan juga muslim (karena membeli tanah kharājiyyah). Apabila orang kafir yang mengelola tanah kharāj masuk Islam, maka ia tetap dikenai kharāj sebagaimana keadaan sebelumnya. Seorang muslim boleh membeli tanah kharāj dari seorang kafir zimmi[17] dan dia tetap dikenakan kharāj (menurut Mazhab Syafi’i).[18] Ketika kharāj dan‘usyr[19] harus dibayar bersama-sama pada satu tanah. Yaitu jika ada tanah kharājiyyah yang dikuasai melalui perang (akan terkena kharāj abadi), lalu tanah itu dijual kepada orang muslim (akan terkena kharāj). Dalam kondisi ini, kharāj dibayar lebih dulu dari hasil tanah pertaniannya. Lalu jika sisanya masih mencapai nishāb, zakat pun wajib dikeluarkan.[20]
Para fuqaha berselisih pendapat mengenai zakat tanah berpajak apabila ia dimilki oleh orang muslim; apakah kewajibannya hanya mengeluarkan pajak saja, ataukah dia harus mengeluarkan secara bersamaan zakat dan pajak; ataukah pajaknya cukup diganti dengan zakat sebesar sepersepuluh? Mazhab Hanafi mengatakan, “Tanah berpajak hanya diwajibkan membayar pajaknya dan tidak diwajibkan membayar zakat penghasilannya sebesar sepersepuluh. Pajak dan zakat sepersepuluh tidak dapat terjadi dalam satu tanah”. Sedangkan pendapat jumhur ulama mengatakan, Tanah berpajak harus membayar zakat sepersepuluh di samping keharusan membayar pajaknya”.[21]
Pendapat yang kuat adalah pendapat jumhur ulama karena pajak dan zakat adalah dua hakikat yang sama sekali berbeda, zat, tempat, sebab, pembayaran, dan dalilnya. Dari segi zatnya, pajak berbeda dengan zakat sepersepuluh karena zakat memiliki muatan makna ibadah, sedangkan pajak membawa konsekuensi sanksi bila tidak dibayar. Dari segi pembayaran dan peruntukannya berbeda, karena zakat dibayarkan kepada kaum fakir miskin, sedangkan pajak digunakan untuk membangun dan memelihara kepentingan-kepentingan umum atau peperangan. Dan dari segi dalilnya keduanya berbeda karena ada nash yang mengharuskan pembayaran sepersepuluh, sedangkan pajak ditetapkan oleh ijtihad yang didasarkan atas adanya berbagai kepentingan umum yang harus diadakan.[22]
Sementara itu dari segi metode penetapan kharāj, Al-Mawardi berpendapat bahwa penilaian atas kharāj harus sesuai dengan faktor-faktor yang menentukan kemampuan tanah dalam membayar pajak, yaitu kesuburan tanah, jenis tanaman, dan sistem irigasi. Menurutnya, kesuburan tanah merupakan faktor yang sangat penting dalam melakukan penilaian kharāj karena sedikit-banyaknya jumlah produksi bergantung padanya. Jenis tanaman juga turut berpengaruh terhadap penilaian kharāj karena berbagai jenis tanaman mempunyai variasi harga yang berbeda-beda. Begitu pula halnya dengan sistem irigasi. Tanaman yang menggunakan sistem irigasi secara manual tidak dapat dikenai sejumlah pajak yang sama dengan tanaman yang menggunakan sistem irigasi alamiah.[23]
Di samping ketiga faktor tersebut, Al-Mawardi juga mengungkapkan faktor yang lain, yaitu jarak antara tanah yang menjadi objek kharāj dengan pasar. Faktor terakhir ini juga sangat relevan karena tinggi-rendahnya harga berbagai jenis bergantung pada jarak tanah dari pasar.[24]
Tentang metode penetapan  kharāj, Al-Mawardi menyarankan untuk menggunakan salah satu dari tiga metode yang pernah diterapkan dalam sejarah Islam, yaitu:[25]
a.       Metode misāhah, yaitu metode penetapan kharāj berdasarkan ukuran tanah. Metode ini merupakan fixed-tax, terlepas dari apakah tanah tersebut ditanami atau tidak, selama tanah tersebut memang bisa ditanami.
b.      Metode penetapan kharāj berdasarkan ukuran tanah yang ditanami saja. Dalam metode ini, tanah subur yang tidak dikelola tidak masuk dalam penilaian objek kharāj.
c.       Metode muqāsamah, yaitu metode penetapan kharāj berdasarkan persentase dari hasil produksi (proportional tax). Dalam metode ini, pajak dipungut setelah tanaman mengalami masa panen.
Bukti sejarah menyebutkan bahwa pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, kharāj dari tanah hasil penaklukan tergantung pada tingkat kesuburan, lokasi, serta lingkungan tempat tanah itu berada dan hal ini sangat identik dengan jumlah sewa atas tanah tersebut. Ketika berhasil menaklukan wilayah Mesopotamia kecil, Khalifah Umar bin Khattab mengirim beberapa orang ke daerah tersebut untuk melaksanakan suatu misi yang terdiri atas Ammar bin Yusir yang ditugaskan sebagai juru dakwah, Ibnu Mas’ud yang ditugaskan sebagai hakim dan memelihara negara, serta Usman bin Hanif yang ditugaskan untuk mensurvei batas-batas tanah. Tanah yang disurvei berkisar sekitar 150 juta jarib[26]. Tanah tersebut, baik yang telah diolah maupun yang akan diolah, dipungut pajaknya berdasarkan karakteristik-karakteristik tertentu. Sisanya, lahan yang tidak dapat diolah dan lahan yang dijadikan tempat tinggal atau pemukiman dibebaskan dari kharāj.[27]
Secara ilmiah, jumlah pajak tanah di daerah Mesopotamia kecil bervariasi dari satu daerah ke daerah lain dan dari satu tempat ke tempat lain. Menurut sebuah riwayat, Khalifah Umar bin Khattab memunggut pajak atas setiap jarib dari tanah pertanian gandum sebesar satu dirham[28] plus satu qafiz[29], pada buah-buahan sebesar sepuluh dirham[30]. Riwayat lain menyebutkan bahwa beliau memungut pajak delapan dirham[31] atas setiap jarib lahan kurma, enam dirham[32] atas jarib lahan tebu, dan empat dirham[33] atas setiap jarib lahan gandum.
4.      Analisis Kebijakan tentang Kharāj Sepanjang Sejarah dalam Islam
a.       Masa Rasulullah Saw
     Pada masa pemerintahannya, Rasulullah Saw menerapkan jizyah, yakni pajak yang dibebankan kepada orang-orang non-muslim, khususnya ahli kitab, sebagai jaminan perlindungan jiwa, harta milik, kebebasan menjalankan ibadah, serta pengecualian dari wajib militer. Besarnya jizyah adalah satu dinar pertahun untuk setiap orang laki-laki dewasa yang mampu membayar. Perempuan, anak-anak, pengemis, pendeta, orang tua, penderita sakit jiwa dan semua yang menderita penyakit dibebaskan dari kewajiban ini.[34]
            Disamping itu, Rasulullah Saw juga menerapkan sistem kharāj, yaitu pajak tanah yang dipungut dari kaum non-muslim ketika wilayah Khaibar ditaklukkan, tanah hasil taklukan diambil alih oleh kaum muslimin dan pemilik lamanya diberi hak untuk mengolah tanah tersebut dengan status sebagai penyewa dan bersedia memberikan separo hasil produksinya kepada negara. Rasulullah Saw mengirim orang-orang yang ahli untuk menaksir jumlah keseluruhan hasil produksi. Setelah mengurangi sepertiga sebagai konpensasi dari kemungkinan kelebihan penaksiran, dan sisanya yang duapertiga dibagi-bagikan, setengahnya untuk negara dan setengahnya untuk para penyewa. Dalam perkembanganya, kharāj menjadi sumber pemasukan bagi negara.[35]
            Dari sisi subjek (wajib pajaknya) kharāj dikenakan atas orang kafir dan juga muslim (karena membeli tanah kharājiyyah). Apabila orang kafir yang mengelola kharāj masuk islam, maka ia tetap dikenai kharāj sebagaimana keadaan sebelumnya. Seorang muslim boleh membeli tanah kharāj dari seorang kafir zimmi dan dia tatap dikenakan kharāj. Jika seorang kafir masuk islam, maka tanah itu tatap menjadi miliknya, dan mereka wajib membayar 10% dari hasil buminya sebagai zakat, bukan sebagai kharāj.[36]
            Dari sisi objek kharāj dikenakan pada tanah (pajak tetap) dan hasil tanah (pajak proporsional) yang terutma ditaklukkan oleh kekuatan senjata, terkepas apakah si pemilik itu seorang yang dibawah umur, seorang dewasa, seorang bebas, budak, muslim ataupun non-muslim. Kharāj dikenakan atas seluruh tanah didaerah yang ditaklukkan dan tidak dibagikan kepada anggota pasukan perang oleh negara diniarkan dimiliki oleh bpemilik awal atau dialokasikan kepada petani non-muslim dari mana saja.[37]
b.    Masa Khalifah Umar bin Khattab
Selama pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, wilayah kekuasaan Islam semakin luas seiring dengan banyaknya daerah-daerah yang berhasil ditaklukkan, baik melalui peperangan maupun secara damai. Hal ini menimbulkan berbagai permasalahan baru. Pertanyaan yang paling mendasar dan utama adalah kebijakan apa yang diterapkan negara terhadap kepemilikan tanah-tanah yang berhasil ditaklukkan tersebut.[38]
Setelah melalui debat yang panjang dan dengan didukung sejumlah sahabat lainnya, Khalifah Umar bin Khattab memutuskan untuk memperlakukan tanah-tanah tersebut sebagai fay[39], dan prinsip yang sama diadopsi untuk kasus-kasus yang akan datang. Dalam memperlakukan tanah-tanah taklukan, Khalifah Umar bin Khattab tidak membagi-bagikannya kepada kaum Muslimin, tetapi membiarkan tanah tersebut tetap berada pada pemiliknya dengan syarat  membayar kharāj dan jizyah.[40]
Dalam hal kharāj, Khalifah Umar bin Khattab menerapkan beberapa peraturan sebagai berikut:[41]
1)      Wilayah Irak yang ditaklukkan dengan kekuatan menjadi milik orang muslim dan kepemilikan ini tidak dapat diganggu gugat sedangkan bagian wilayah yang berada di bawah perjanjian damai tetap dimiliki oleh pemilik sebelumnya dan kepemilikan tersebut dapat dialihkan.
2)      Kharāj dibebankan kepada semua tanah yang berada di bawah kategori pertama, meskipun pemilik tanah tersebut memeluk agama Islam. Dengan demikian, tanah seperti itu tidak dapat dikonversi menjadi tanah ‘usyr.
3)      Bekas pemilik tanah diberi hak kepemilikan selama mereka membayar kharāj dan jizyah.
4)      Tanah yang tidak ditempati atau ditanami (tanah mati) bila diolah oleh kaum muslimin diperlakukan sebagai tanah ‘usyr.
5)      Di Sawad, kharāj dibebankan sebesar satu dirham dan satu qafiz gandum dan barley (sejenis gandum) dengan asumsi tanah tersebut dapat dilalui air. Harga yang lebih tinggi dikenakan kepada ratbah (rempah atau cengkeh) dan perkebunan.
c.     Khalifah Ali bin Abu Thalib
Pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abu Thalib , kharāj yang dipungut atas lahan gandum yang sangat produktif sebanyak satu setengah dirham[42] ditambah satu sha’[43] per jarib, lahan yang cukup produktif sebesar satu dirham dan lahan yang kurang produktif sebesar sepertiga dirham[44]. Ketiga jenis lahan tersebut diirigasi oleh Sungai Eufrat. Sama halnya dengan yang tadi, pada setiap jarib lahan yang ditanami barley (jenis gandum) dikenakan kharāj setengah dari hasil gandum, pada jarib pohon kurma dikenai sepuluh dirham, dan pada setiap jarib kebun anggur dikenai sepuluh dirham. Produksi pertanian lainnya dibebaskan dari pemungutan kharāj.[45]
Dari uraian di atas, dapat dipahami pada permulaan Islam jumlah pajak tanah yang dibebankan berbeda-beda sesuai dengan kondisi lahan dan ongkos sewa. Salah satu faktor yang menyebabkan kenaikan harga sewa adalah kesuburan dan produktivitas tanah. Faktor berikutnya adalah jarak lahan dengan pasar dan kota pada sisi lainnya. Faktor yang ketiga adalah produksi panen memiliki elastisitas pendapatan terhadap permintaan yang lebih besar daripada yang lainnya.[46]
d.    Khalifah Bani Umayyah
Tanah yang dikenakan kharāj ialah tanah yang dimiliki oleh orang bukan Islam dari negara yang ditaklukinya. Contohnya jumlah uang yang dipungut di Iraq melalui cukai kharāj berjumlah lebih daripada seratus juta dirham[47].[48]
Jenis tanah yang dikecualikan daripada dikenakan cukai kharaj :[49]
1)      Tanah milik orang yang memeluk Islam tanpa sebarang peperangan. Golongan ini hanya membayar zakat.
2)      Tanah yang dimiliki oleh orang Islam secara kekerasan atau melalui peperangan dan telah dibahagikan kepada askar-askar yang berperang. Mereka hanya dikenakan usyur (satu persepuluh ) tidak termasuk cukai kharāj.
3)      Tanah yang diambil daripada orang kafir secara kekerasan. Dan apabila dibagikan kepada askar-askar yang berperang , maka mereka wajib membayar usyr (1/10 ) daripada hasil tanah tersebut dan mereka tidak perlu membayar cukai kharāj.
5.      Konseptualisasi Kharāj Dalam Konteks Modern
Dalam perekonomian modern saat ini, penerapan kharāj sama seperti Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), di mana PBB adalah pajak yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek, yaitu bumi/tanah dan/atau bangunan. Keadaan subjek (siapa yang membayar) tidak ikut menentukan besarnya pajak.[50] Namun yang membedakan PBB dengan kharāj adalah dalam kharāj cenderung digunakan dalam hal pertanian yang ditentukan dari tingkat kesuburan tanah, jenis tanaman, dan irigasi, sedangkan PBB besar pajaknya ditentukan berdasarkan zona lokasi tanah.[51]
Kalau dilihat dari sisi subjeknya, PBB ini jelas bertentangan dengan syariat, karena kaum muslim ikut dibebankan atas tanah dan atau bangunan yang mereka miliki, tempati, atau manfaatkan. Kalau diidentikkan dengan kharāj, maka Indonesia bukanlah tanah kharājiyyah, yang ditaklukkan dengan peperangan, sehingga warga muslim atas tanah itu tidak wajib membayar kharāj. Khalifah Umar bin Khattab pun pernah melarang pengenaan kharāj terhadap kaum muslim, dan memasukkan penerimaan hasil tanah sebagai zakat.[52]
Walaupun ada perbedaan jumlah pajak tanah pada setiap daerah, dan perbedaan antara masa Khalifah Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib, pajak tanah selau proporsional, sesuai dengan jenis panen dan kesuburan tanahnya. Dalam sebuah riwayat, Yahya bin Adam bertanya kepada Hasan bin Salih tentang faktor yang menimbukan perbedaan jumlah pajak pada setiap daerah. Ia menjawab bahwa hal tersebut disebabkan oleh jauh dekatnya lahan dari pasar. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah pajak tanah sama besarnya dengan sewa. Sebagaimana telah dikatakan sebelumnya, faktor produktivitas, kesuburan tanah serta dekatnya lahan dengan pasar dapat menaikkan ongkos sewa.[53]
Karena telah dijelaskan sebelumnya bahwa kharāj adalah tanah taklukan (kharājiyyah), kaum kafir wajib membayar kharāj. Jika dijual kepada kaum muslim, ia tetap dikenakan karena status tanah kharājiyyah tersebut, meskipun nilainya berubah menjadi zakat. Terhadap tanah kharāj dan tanahkharājiyyah (negeri taklukkan yang penduduknya telah masuk Islam) seperti Irak, Syam, Mesir, Libya, Aljazair, Maroko, Albania, Bosnia, negeri-negeri di Asia Tengah, maka di sana berlaku kharāj (the land tax) sampai kiamat.[54]
Sedangkan terhadap negeri yang penduduknya masuk Islam seperti Indonesia, atau tanah yang statusnya bukan tanah kharāj, maka kharāj tidak berlaku, karena tanah tersebut merupakan tanah ‘usyriyyah yang wajib dikeluarkan zakatnya. Seluruh potensi pemungutan atas hasil tanah, telah terakumulasi dalam zakat.[55]

a.       Atas kaum muslim Indonesia tidak boleh dipungut Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), termasuk juga terhadap non-muslim. Karena tanah yang mereka tinggali bukan termasuk tanah kharājiyyah.
b.      Jika PBB memungut pajak terhadap tanah dan/bangunan, maka hal ini adalah kezaliman. Sebab atas hasil usaha mereka telah dipungut ‘usyr (zakat) bagi kaum muslim dan jizyah (pajak kepala) bagi non-muslim.
c.       Kharāj termasuk penerimaan negara resmi atas non-muslim atas tanah kharājiyyah, namun karena Indonesia bukan termasuk tanah kharājiyyah, maka PBB tidak boleh dipungut.

C.    Kesimpulan
Kharāj merupakan salah satu pendapatan negara pada masa awal pemerintahan Islam. Setiaptanah yang diambil dari kaum kafir dengan cara paksa setelah diumumkan perang terhadap mereka, maka tanah tersebut dikategorikan sebagai tanah kharājiyyah, meskipun mereka masuk Islam setelah penaklukan, atau singkatnya kharāj adalah pajak tanah yang dipungut dari non-muslim.
Dalam sejarah Islam masa pengelolaan kharāj pertama kali muncul ketika umat Islam di bawah kepemimpinan Rasulullah Saw memenangkan perang Khaibar pada tahun 7 Hijriyah. Dan dalam perkembangan berikutnya, kharāj menjadi salah satu sumber pendapatan negara yang penting. Dalam metode penetapan kharāj, Al-Mawardi menyarankan untuk menggunakan salah satu dari tiga metode penetapan kharāj dalam Islam, yaitu metode misāhah, metode berdasarkan ukuran tanah yang ditanami saja, atau metode muqāsamah.
Pada zaman modern sekarang terutama di Indonesia, kharāj memiliki kesamaan dengan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), namun yang membedakan adalah jika dalam kharāj ditentukan dari tingkat kesuburan tanah, jenis tanaman, dan sistem irigasi, sedangkan PBB ditentukan berdasarkan zona lokasi tanah itu berada. Atas kaum muslim Indonesia tidak boleh dipungut Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), termasuk juga terhadap non-muslim. Karena tanah yang mereka tinggali bukan termasuk tanah kharājiyyah.



Daftar Pustaka

A.    Buku
Al-Mawardi,  Al-Ahkam as-Sultaniyyah wa al-Wilāyāt ad-Dĩniyyah, diterjemahkan oleh Fadli Bahri, Prinsip-Prinsip Penyelenggaraan Negara Islam, Jakarta, Darul Falah, 2006, Cet. Ke-2.
Al-Quran dan Terjemahnya, Madinah, Mujamma’ al-Malik Fahd li Thiba’at al-Mush-haf asy-Syarif, 1990.
Adiwarman A. Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, Jakarta, Gema Insani, 2001, Cet. Ke-1.
, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam,  Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2007, Edisi Ke-3.
Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2007, Edisi Ke-1.
Wahbah Al-Zuhayli, Al-Fiqh Al-Islami Adillatuh, diterjemahkan oleh Agus Effendi; Bahruddin Fananny, Zakat: Kajian Berbagai Mazhab, Bandung, PT Remaja Rosdakarya Offset, 1997, Cet. Ke-3.

B.  Internet
M. Shiddiq Al-Jawi, Hukum Pertanahan Menurut Syariah Islam, http://khilafah1924.org/index.php?option=com_content&task=view&id=669.
Nur Syakira Nabila, Huraikan Pentadbiran Cukai Kharaj Pada Zaman Khulafa’ Al- Rasyidin & Bani Umayyah, http://khilafah1924.org/index.php?option=com_content&task=view&.
http://ucupahmad69.blogspot.com/2013/05/sejarah-ekonomi-islam.html.


[1] Adiwarman A. Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam,(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), Edisi Ke-3, h. 37.
[2] Ibid., h. 38.
[3] Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), Edisi Ke-1, h. 59.
[4] Ibid., h. 126.
[5] [1013] yang dimaksudkan upah dari Tuhan ialah rezki yang dianugrahkan Tuhan di dunia, dan pahala di akhirat.
[6] Al-Quran dan Terjemahnya, (Madinah: Mujamma’ al-Malik Fahd li Thiba’at al-Mush-haf asy-Syarif, 1990), h. 534.
[7] Al-Zuhayli, Wahbah, Al-Fiqh Al-Islami Adillatuh, diterjemahkan oleh Agus Effendi; Bahruddin Fananny, Zakat: Kajian Berbagai Mazhab, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset, 1997), Cet. Ke-3, h. 208-209.
[8] Jizyah ialah pajak perorangan yang dikenakan pada penduduk non-muslim, khususnya ahli kitab, sebagai jaminan perlindungan jiwa, harta milik, kebebasan menjalankan ibadah, serta pengecualian dari wajib militer. Sumber: Adiwarman A. Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, op.cit., h.43.
[9] Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah, op.cit., h. 126.
[10] M. Shiddiq Al-Jawi, Hukum Pertanahan Menurut Syariah Islam,
 http://khilafah1924.org/index.php?option=com_content&task=view&id=669. Diakses tanggal 05/10/2013, pukul 15.20 wita.
[11] Adiwarman A. Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, op.cit., h. 42.
[12] Ibid.
[13] Ibid., h. 44.
[14] Ibid., h. 105-106.
[15] Ibid., h. 106.
[16] Ibid., h. 107.
[17] Secara istilah, zimmi adalah orang non-muslim merdeka yang hidup dalam negara Islam yang sebagai balasan karena membayar pajak perorangan, menerima perlindungan dan keamanan. Sumber: http://id.www.wikipedia.org/wiki/Dzimmi. Diakses tanggal 27/11/2013, pukul 07.45 wita.
[18] Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah, op.cit., h. 127.
                [19] ‘usyr dalam hal ini ialah zakat atas hasil pertanian dan buah-buahan. Sumber: Adiwarman A. Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, op.cit., h. 45.
[20] M. Shiddiq Al-Jawi, Hukum Pertanahan Menurut Syariah Islam, loc.cit.
[21] Al-Zuhayli, Wahbah, Al-Fiqh Al-Islāmi wa Adillatuh, op.cit., h. 210-211.
[22] Ibid., h. 212.
[23] Adiwarman A. Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, op.cit., h. 306-307.
[24] Ibid., h. 307.
[25] Ibid., h. 307-308.
[26] Satu jarib kira-kira 8 acre (1 acre = 0,4646 hektar), 1 jarib = 3,7168 hektar. Sumber: Ibid., h. 108.
[27] Ibid., h. 108.
[28] Satu dirham = Rp. 64.323,-. Sumber: http://www.geraidinar.com . Diakses tanggal 27/11/2013, pukul 08.34 wita.  
[29] Satu qafiz kira-kira 48 kilogram. Sumber: Adiwarman A. Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, op.cit., h. 109.
[30] Sepuluh dirham x Rp. 64.323,- = Rp. 643.230,-
[31] Delapan dirham x Rp. 64.323,- = Rp. 514.584,-
[32] Enam dirham x Rp. 64.323,- = Rp. 385.938,-
[33] Empar dirham x Rp. 64.323,- = Rp. 257.292,-
                [35] Ibid.
                [36] Ibid.
                [37] Ibid.
[38] Ibid., h. 65.
[39] Fay ialah harta rampasan yang diperoleh dari non-muslim tanpa terjadinya pertempuran. Sumber: Hukum Seputar Fay, http://konsultasi.wordpress.com. Diakses tanggal 27/11/2013, pukul 08.10 wita.
[40] Ibid., h. 66.
[41] Adiwarman A. Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, op.cit., h. 67-68.
[42] Satu setengah dirham = Rp. 64.323 (Satu dirham) + Rp. 32.161,5 (setengah dirham) = Rp. 96.484,5.
[43] Satu sha’ kira-kira 8 kilogram. Sumber: Ibid., h. 110.
[44] Sepertiga dirham = Rp. 21.441.
[45] Ibid.
[46] Ibid. 
                [47] Seratus juta dirham x Rp. 64.323 = Rp. 6.432.300.000.000.
[48] Nur Syakira Nabila, Huraikan Pentadbiran Cukai Kharaj Pada Zaman Khulafa’ Al- Rasyidin & Bani Umayyah, http://khilafah1924.org/index.php?option=com_content&task=view&. Diakses tanggal 05/10/2013, pukul 11.20 wita.
                [49] Ibid.
[50] Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah, op.cit., h. 236.
[51] Adiwarman A. Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani, 2001), Cet. Ke-1, h. 46.
[52] Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah, op.cit., h. 237.
[53] Ibid. h. 111.
[54] Ibid., h. 240-241.
[55] Ibid., h. 241.
[56] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Penusukan Syekh Al Jabir

  Penulis Kontributor Lampung, Tri Purna Jaya | Editor David Oliver Purba LAMPUNG   KOMPAS.com – Ulama dan pendakwah Syekh Ali Jaber meminta...