BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Materialitas
mendasari penerapan standar auditing, terutama yang berkaitan dengan penerapan
standar pekerjaan lapangan dan standar pelaporan, serta tercermin dalam laporan
auditor bentuk baku. Materialitas dan risiko sangat fundamental bagi
perencanaan audit dan perancangan pendekatan audit. Risiko audit dan
materialitas, bersama dengan hal-hal lain, perlu dipertimbangkan dalam
menentukan sifat, saat, dan lingkup prosedur audit serta dalam mengevaluasi
hasil prosedur.
Karena itulah penulis tertarik untuk
lebih mendalami pokok pembahasan ini. Namun, dalam makalah ini penulis hanya
memaparkan mengenai materialitas dan risiko audit, mulai dari definisi, sampai
dengan hubungan antara materialitas, risiko audit, dan bukti audit.
B. Rumusan Masalah
A. Apa itu materialitas?
B. Bagaimana konsep materialitas itu?
C. Apa pertimbangan auditor pada saat
awal materialitas?
D. Apa hubungan antara materialitas
dengan bukti audit?
E. Apa itu risiko audit?
F.
Seperti apa risiko audit pada tingkat laporan keuangan dan
tingkat saldo akun?
G. Apa saja unsur-unsur risiko audit?
H. Bagaimana hubungan di antara risiko
audit?
I.
Bagaimana hubungan antara materialitas, risiko audit, dan
bukti audit?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Materialitas
Financial
Accounting Standard Board (FASB) mendefinisikan materialitas sebagai:“Besarnya
suatu penghapusan atau salah saji informasi keuangan yang, dengan
memperhitungkan situasinya, menyebabkan pertimbangan yang dilakukan oleh orang
yang mengandalkan pada informasi tersebut akan berubah atau terpengaruh
oleh penghapusan atau salah saji tersebut.”[1]
B. Konsep Materialitas
Dari definisi
materialitas di atas mengharuskan auditor untuk mempertimbangkan baik (1)
kedaan yang berkaitan dengan entitas dan (2) kebutuhan informasi pihak yang
akan meletakkan kepercayaan atas laporan keuangan auditing. Sebagai contoh,
suatu jumlah yang material dalam laporan keuangan entitas tertentu mungkin
tidak material dalam laporan keuangan entitas lain yang memiliki ukuran dan
sifat yang berbeda. Begitu juga, kemungkinan terjadi perubahan materialitas
dalam laporan keuangan dalam entitas tertentu dari periode akuntansi yang satu ke
perode akuntansi yang lain. Oleh karena itu, auditor dapat menyimpulkan bahwa
tingkat materialitas akun modal kerja harus lebih rendah bagi perusahaan yang
memiliki current ratio 4 : 1. Dalam mempertimbangkan kebutuhan informasi
pemakai informasi keuangan, semestinya harus dianggap, sebagai contoh, bahwa
pemakai informasi keuangan adalah para investor yang perlu mendapatkan
informasi memadai sebagai dasar untuk pengambilan keputusan mereka.[2]
Dalam audit
atas laporan keuangan, audit itdak dapat memberikan jaminan bagi klien atau
pemakai laporan keuangan yang lain, bahwa laporan keuangan auditan adalah
akurat. Audit tidak dapat memberikan jaminan karena ia tidak memeriksa setiap
transaksi yang terjadi dalam tahun yang diaudit dan tidak dapat menentukan apakah
semua transaksi yang terjadi telah dicatat, diringkas,digolongkan, dan dikompilasi
secara mestinya ke dalam laporan keuangan. Jika auditor diharuskan untuk
memberikan jaminan mengenai keakuratan laporan keuangan auditan, hal ini tidak
mungkin dilakukan, karena akan memerlukan waktu dan biaya yang jauh melebihi
manfaat yang dihasilkan. Di samping itu, tidaklah mungkin seseorang menyatakan
keakuratan laporan keuangan (yang berarti ketepatan semua informasi yang
disajikan dalam laporan keuangan), mengingat bahwa laporan keuangan sendiri
berisi pendapat, estimasi, dan pertimbangan tersebut tidak tepat atau akurat
seratus persen.[3]
Oleh karena
itu, dalam audit atas laporan keuangan, auditor memberikan kekayakinan berikut
ini:[4]
1.
Auditor
dapat memberikan keyakinan bahwa jumlah-jumlah yang disajikan dalam laporan
keuangan beserta pengungkapannya telah dicatat, diringkas, digolongkan, dan
dikompilasi.
2.
Auditor
dapat memberikan kekayakinan bahwa ia telah mengumpulkan bukti audit kompeten
yang cukup sebagai dasar memadai untuk memberikan pendapat atas laporan
keuangan auditan.
3.
Auditor
dapat memberikan keyakinan, dalam bentuk pendapat ( atau memberikan informasi
dalam hal terdapat perkecualian), bahwa laporan keuangan sebagai keseluruhan
disajikan secara wajar dan tidak terdapat salah saji material karena kekeliruan
dan kecurangan.
Dengan demikian ada dua konsep yang melandasi keyakinan yang
diberikan oleh auditor: konsep materialitas dan konsep risiko audit. Karena
auditor tidak memeriksa setiap transaksi yang dicerminkan dalam laporan
keuangan, maka ia bersedia menerima beberapa jumlah kekeliruan kecil. Konsep materialitas
menunjukan seberapa besar salah saji yang dapat diterima oleh auditor agar
pemakai laporan keuangan tidak terpengaruh oleh salah saji tersebut. Berapa jumlah
kekeliruan atau salah saji yang auditor bersedia untuk menerimanya dalam
laporan keuangan, namun ia tetap dapat memberikan pendapat wajar tanpa
pengecualian karena laporan keuangan tidak berisi salah saji material. Konsep
risiko audit menunjukan tingkat risiko kegagalan auditor untuk mengubah
pendapatnya atas laporan yang sebenarnya berisi salah saji material.[5]
C. Pertimbangan Awal
Materialitas
Auditor menggunakan 2 cara dalam
menerapkan materialitas; (1) pada saat perencanaan audit,dan (2) pada saat
menegvaluasi bukti audit dalam pelaksanaan audit. Penetuan materialitas dapat
berbeda dengan tingkat materialitas yg digunakan pada saat pengambilan
kesimpulan audit dan dalam mengevaluasi tmuan audit karena keadaan yang
melingkupi berubah dan informasi tambahan tentangklien yang diperoleh saat
audit berlangsung.[6]
Sebagai
contoh, klien mungkin dapat memperoleh sumber pembelanjaan untuk melanjutkan
usahanya, yang pada saat audit direncanakan, audit meragukan kemampuan klien
dalam mempertahankan kelangsungan hidup usaha klien. Kemudian, audit yang telah
dilaksankan dapat memastikanbahwa karena sumber pembelanjaan tersebut,
solvabilitas klien dalam periode yang diaudit telah mengalami peningkatan
secara signifikan. Dalam keadaan ini, tingkat materialitas yang digunakan oleh
auditor dalam mengevaluasi temuan audit dapat lebih tinggi dibandingkan dengan materialitas
perencanaan.[7]
Dalam
perencanaan suatu audit, auditor harus menetapkan materialitas pada dua tingkat
berikut ini:[8]
a.
Tingkat
laporan keuangan, karena pendapat auditor atas kewajaran mencakup laporan
keuangan sebagai keseluruhan.
b.
Tingkat
saldo akun, karena auditor memverifikasi saldo akun dalam mencapai kesimpulan
menyeluruh atas kewajaran laporan keuangan.
Faktor yang
harus dipertimbangkan dalam melakukan pertimbangan awal tentang materialitas
pada setiap tingkat dijelaskan laporan keaungan.
1.
Materialitas
pada tingkat laporan keuangan
Laporan keuangan mengandung salah saji meterial jika laporan
tersebut berisi kekeliruan atau kekurangan yang dampaknya, secara individu atau
secara gabungan, sedemikian signifikan sehingga mencegah penyajian secara wajar
laporan keuangan tersebut sesuai dengan prinsip akuntansi berterima umum. Dalam
keadaan ini, salah saji dapat terjadi sebagai akibat penerapan secara keliru
prinsip akuntansi berterima umum di Indonesia, penyimpangan dari fakta, atau
penghilangan informasi yang diperlukan.[9]
Dalam melakukan
pertimbangan awal tentang materialitas, mula-mula auditor menentukan tingkat
materialitas gabungan untuk setiap laporan keuangan. Sebagai contoh, auditor
dapat menaksir bahwa kekeliruan berjumlah Rp2 juta untuk laporan laba-rugi dan
Rp4 juta untuk neraca merupakan kekeliruan material. Dalam keadaan ini, auditor
tidak semestinya menggunakan materialitas neraca dalam perencanaan audit karena
jika salah saji neraca yang berjumlah Rp4 jutajuga berdampak terhadap laporan
laba-rugi, sehingga laporan laba-rugi akan salah saji secara material. Untuk
tujuan perencanaan audit, auditor harus menggunakan tingkat salah saji gabungan
yang terkecil yang dianggap material terhadap salah satu laporan keuangan.
Dasar pengambilan keputusan ini semestinya digunakan karena (1) laporan
keuangan adalah saling berhubungan satu dengan lainnya, (2) banyak prosedur
audit berkaitan dengan lebih dari satu laporan keuangan. Sebagai contoh,
prosedur audit untuk menentukan apakah penjualan kredit pada akhir tahun
dicacat dalam periode akuntansi semestinya memberikan bukti tentang baik
piutang usaha (neraca) dan pendapatan penjualan (laporan laba-rugi).[10]
Pertimbangan
awal auditor tentang materialitas seringkai dibuat enam sampai dengan sembilan
bulan sebelum tanggal neraca. Oleh karena itu, pertimbangan tersebut dapat
didasarkan atas data laporan keuangan yang dibuat tahunan. Sebagai alternatif,
pertimbangan tersebut dapat didasarkan atas hasil keuangan satu tahun atau
lebih yang telah lalu, yang disesuaikan dengan perubahan terkini, seperti
keadaan ekonomi umum dan trend industri.
Sampai dengan
saat ini, tidak terdapat panduan resmi yang diterbitkan oleh Ikatan Akuntan
Indonesia tentang ukuran kuantitatif materialitas. Berikut ini diberikan contoh
beberapa panduan kuantitatif yang digunakan dalam praktik:[11]
a)
Laporan
keuangan dipandang mengandung salah saji material jika terdapat salah saji 5%
sampai 10% dari laba sebelum pajak.
b)
Laporan
keuangan dipandang mengandung salah saji material jika terdapat salah saji
1/2% sampai 1% dari total aktiva.
c)
Laporan
keuangan dipandang mengandung salah saji meterial jika terdapat salah saji 1%
dari pasiva.
d)
Laporan
keuangan dipandang mengandung salah saji material jika terdapat salah saji 1/2%
sampai 1% dari pendapatan bruto.
2.
Materialitas
pada tingkat saldo akun
Materialitas pada tingkat saldo akun adalah salah saji minimum yang
mungkin terdapat dalam saldo akun yang dipandang sebagai salah saji material.
Konsep materialitas pada tingkat saldo akun tidak boleh dicampuradukkan dengan
istilah saldo akun material. Saldo akun material adalah besarya saldo
akun yang dicatat, sedangkan konsep materialitas berkaitan dengan jumlah salah
saji yang dapat mempengaruhi keputusan pemakai informasi keuangan. Saldo suatu
akun yang dicatat umumnya mencerminkan batas atas lebih saji dalam akun
tersebut.[12]
Oleh karena
itu, akun dengan saldo yang lebih kecil dibandingkan dengan materialitas
seringkali disebut sebagai tidak material mengenai risiko lebih saji. Namun,
tidak ada batas jumlah kurang saji dalam suatu akun dengan saldo tercatat yang
sangat kecil. Oleh karena itu, harus didasari oleh auditor, bahwa akun yang
kelihatannya bersaldo tidak material, dapat berisi kurang saji yang melampaui
materialitasnya.[13]
Dalam
mempertimbangkan materialitas pada tingkat saldo akun, auditor harus
mempertimbangkan hubungan antara materialitas tersebut dengan materialitas
laporan keuangan. Pertimbangan ini mengarah auditor untuk merencanakan audit
guna mendeteksi salah saji yang kemungkinan tidak material secara individu,
namun jika digabungkan dengan salah saji dalam saldo akun yang lain, dapat
material terhadap laporan keuangan secara keseluruhan.[14]
1)
Alokasi
materilitas laporang keuangan ke Akun
Bila
pertimbangan awal auditor tentang materialitas laporan keuangan
dikuantifikasikan, penaksiran awal tentang materialitas untuk setiap akun dapat
diperoleh dengan mengalokasikan materialitas laporan keuangan ke akun secara
individu. Pengalokasian ini dapat dilakukan baik untuk akun neraca maupun akun laba-rugi. Namun, karena hampir
semua salah saji laporan laba-rugi juga mempengaruhi neraca dan karena akun
neraca lebih sedikit, banyak auditor yang melakukan alokasi atas dasar akun
neraca.
Dalam melakukan
alokasi, auditor harus mempertimbangkan kemungkinan terjadinya salah saji dalam
akun tertentu dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk memversifikasi akun
tersebut. Sebagai contoh, salah saji lebih kemungkinan lebih besar terdapat
dalam sediaan dibandingkan dengan aktiva tetap, dan umumnya biaya untuk
mengaudit sediaan lebih mahal dibandingkan dengan biaya untuk mengaudit aktiva
tetap.
Untuk
menggambarkan alokasi materialitas tersebut, misalnya PT X memiliki komposisi
aktiva sebagai berikut:[15]
Kas Rp 500.000
Piutang Usahaa 1.500.000
Sediaan 3.000.000
Auditor
memperkirakan salah saji dalam aku kas
dan aktiva tetap kemungkinannya kecil terjadi dan salah saji dalam akun piutang
usaha dan sediaan kemungkinan lebih banyak terjadi. Berdasarkan pengalaman
sebelumnya dengan klien, auditor memperkirakan akun dengan sedikit salah saji
akan sangat murah biayanya untuk mengaudit dibandingkan dengan akun lain.
Misalnya jika perkiraan awal materialitas laporan keuangan adalah 1% dari total
aktiva, atau Rp100.000 auditor tersebut dapat mempertimbangkan dua alternatif
dalam mengaokasikan materialitas laporan keuangan ke akun secara individual
sebagai berikut:
|
|
Alokasi
Materialitas
|
|||
|
Akun
|
Alternatif A
|
%
|
Alternatif B
|
%
|
|
Kas
|
Rp 5.000
|
5
|
Rp 2.000
|
2
|
|
Piutang Usaha
|
15.000
|
15
|
18.000
|
18
|
|
Sediaan
|
30.000
|
30
|
50.000
|
50
|
|
Aktiva Tetap
|
50.000
|
30
|
30.000
|
30
|
|
Total
|
Rp100.000
|
100
|
Rp 100.000
|
100
|
Dalam
Alternatif A, materialitas dialokasikan secara proposional ke dalam setiap
akun, tanpa memperhatikan taksiran salah saji moneter dan biaya audit untuk
mendeteksi salah saji tersebut. Dalam Alternatif B, alokasi materialitas lebeih
besar dilakukan ke dalam akun piutang usaha dan sediaan, yang diperkirakan
lebih banyak salah sajinya dibandingkan dengan akun lain dan biaya untuk
mendeteksinya diperkirakan lebeih besar. Oleh karena itu, jumlah bukti yang
diperlukan untuk akun-akun piutang usaha dan sediaan tersebut berkurang,
dibandingkan dengan Alternatif A, karena terdapat hubungan terbaik antara
materialitas saldo akun dan bukti audit. Sebagai akibatnya, audit tersebut
secara sederhana membiarkan proporsi yang lebih besar dari total salah saji,
tetap berada dalam akun yang memerlukan biaya mahal untuk mendeteksi sala
saji. Meskipun alokasi materialitas
lebih kecil untuk kas dan aktiva tetap akan berakibat meningkatkan jumlah bukti
yang diperlukan untuk akun-akun tersebut, kenyataan bahwa akun-akun tersebut
memerlukan biaya muah untuk mengauditnya, secara keseluruhan akan menghasilkan
penghematan biaya audit.[16]
Alokasi
taksiran awala materialitas dapat revisi setelah dilaksanakannya pekerjaan
lapangan. Sebagai contoh, jika ditemukan hanya Rp8.000 salah saji dalam
verifikasi akun piutang usaha, jumlah Rp10.000 yang tidak terpakai dalam
Alternatif B dapat dialokasikan ke akun sediaan.[17]
Meskipun dalam
contoh tersebut di atas kelihatan diperlukan ketepatan alokasi materialitas
laporan keuangan ke akun, analisis akhir proses alokasi tersebut sangat
tergantung pada pertimbangan subjektif auditor.[18]
2)
Penggunaan
materialitas dalam mengevaluasi bukti audit
Jika pada tahap perencanaan audit, auditor menaksirkan salah saji
Rp9.000.000 dipandang material untuk total aktiva, jumlah ini kemudian dipakai
oleh auditor untuk mengevaluasi bukti audit yang dikumpulkan dalam membuktikan
berbagai asersi yang terkandung dalam akun-akun aktiva dalam neraca. Misalnya,
auditor kemudian menentukan salah saji
sebesar Rp3.000.000 dalam akun sediaan. Apakah dengan penemuan ini auditor
kemudian mengambil kesimpulan bahwa laporan keuangan sebagai keseluruhan berisi
salah saji material, tidak semudah itu pertimbangannya. Auditor akan menjumlah
berbagai kekeliruan yang ditemukan dalam audit atas berbagai akun yang termasuk
dalam kelompok aktiva. Misalnya, auditor mengumpulkan salah saji yang terdapat
dalam akun-akun yang termasuk dalam kelompok aktiva berikut ini:
Salah saji
dalam akun sediaan Rp 3.000.000
Jumlah salah saji Rp 11.000.000
Bagaiman
kesimpulan auditor tentang materialitas, Ada dua kemungkinan yang ditempuh oleh
auditor:[19]
a)
Dengan
berbagai alasan tertentu, auditor dapat menaikan batas materialitas yang
ditentukan dari jumlah Rp9.000.000 pada
tahap perencaan auditnya menjadi Rp11.000.000 untuk mengevaluasi bukti audit.
Hal ini kemungkinan disebabkan jumlah aktiva yang dipakai sebagai dasar
penentuan materialitas pada tahap perencanaan berbeda dengan jumlah aktiva yang
dapat dalan laporan keuangan akhir, sehingga persentase materialitas diterapkan
pada jumlah yang berbeda.
b)
Auditor
berkesimpulan bahwa laporan keuangan sebagaikeseluruhan tidak disajikan secara
wajar karena salah saji Rp11.000.000 melebihi jumlah materialitas Rp9.000.000.
oleh karena itu, berdasarkan pertimbangan materialitasini, auditor dapat
meyakinkan kliennya untuk melakukan koreksi atas jumlah salah saji yang
terdapat dalam akun-akun yang pendapatnya dari pendapat wajar tanpa
pengecualian menjadi pendapat wajar dengan pengecualian atau pendapat tidak
wajar.
D. Hubungan Antara
Materialitas dengan Bukti Audit
Materialitas
merupakan satu di antara berbagai faktor yang mempengaruhi pertimbangan auditor
tentang kecukupan bukti audit. Dalam membuat generalisasi hubungan antara
materialisasi dengan bukti audit, perbedaan istilah materialitas dan saldo
akun material harus tetap diperhatikan. Semakin rendah tingkat
materialitas, semakin besar jumlah bukti untuk memperoleh keyakinan memadai
bahwa saldo sediaan yang tercatat tidak disajikan salah lebih dari Rp200.000.
semakin besar atau semakin signifikan suatu saldo akun, semakin banyak jumlah
bukti yang diperlukan. Sebagai contoh, lebih banyak bukti diperlukan untuk sediaan yang berjumlah
30% dari total aktiva dibandingkan bila sediaan hanya berjumlah 10% dari total
aktiva.[20]
E. Risiko Audit
Risiko
audit adalah risiko bagi auditor untuk membuat kesalahan dalam memberikan
pendapat atas laporan keuangan, karena gagal mengungkap salah saji material.[21]
Menurut SA Seksi 312 Risiko Audit dan Materialitas dalam
Pelaksanaan Audit, risiko audit adalah risiko yang terjadi dalam hal
auditor, tanpa disadari, tidak memodifikasi pendapatnya sebagaimana mestinya,
atas suatu laporan keuangan yang mengandung salah saji material. Semakin pasti
auditor dalam menyatakan pendapatnya, semakin rendah risiko audit yang auditor
bersedia untuk menanggungnya.[22]
Auditor
merumuskan suatu pendapat atas laporan keuangan sebagai keseluruhan atas dasar
bukti yang diperoleh dari verivikasi asersi yang berkaitan dengan saldo akun
secara individual atau golongan transaksi. Tujuannya adalah untuk membatasi
risiko audit pada tingkat saldo akun sedemikian rupa sehingga pada akhir proses
audit, risiko audit dalam menyatakan pendapat atas laporan keuangan sebagai
keseluruhan akan berada pada tingkat yang rendah.[23]
F. Risiko Audit pada Tingkat Laporan Keuangan
dan Tingkat Saldo Akun
Kenyataan bahwa auditor tidak dapat memberikan jaminan
tentang ketepatan informasi yang disajikan oleh klien dalam laporan keuangan
mengharuskan auditor mempertimbangkan baik materialitas maupun risiko audit,
tanpa disadari, tidak memodifikasi pendapatnya sebagaimana mestinya, atau suatu
laporan keuangan yang mengandung salah saji material. Risiko audit, seperti
materialitas, dibagi menjadi dua bagian:[24]
1. Risiko
Audit Keseluruhan
Pada tahap perencanaan auditnya,
auditor pertama kali harus menentukan risiko audit keseluruhan yang
direncanakan, yang merupakan besarnya risiko yang dapat ditanggung oleh auditor
dalam menyatakan bahwa laporan keuangan disajikan secara wajar, padahal
kenyataannya, laporan keuangan tersebut berisi salah saji material.
2. Risiko
Audit Individual
Karena audit
mencakup pemeriksaan terhadap akun-akun secara individual, risiko audit
keseluruhan harus dialokasikan kepaada akun-akun yang berkaitan. Risiko audit
individual perlu ditentukan untuk setiap akun karena akun tertentu seringkali
sangat penting karena besar saldonya atau frekuensi transaksi perubahan.
G. Unsur Risiko Audit
Terdapat tiga unsur risiko audit:
(1) risiko bawaan, (2) risiko pengendalian,
(3) risiko deteksi.[25]
(1) Risiko
Bawaan, yakni risiko bawaan
adalah kerentanan suatu saldo akun atau golongan transaksi terhadap suatu salah
saji material, dengan asumsi bahwa tidak terdapat pengendalian yang terkait.
Risiko salah saji demikian adalah lebih besar pada saldo akun atau golongan
transaksi tertentu dibandingkan dengan yang lain. Sebagai contoh, perhitungan
yang rumit lebih mungkin disajikan salah jika dibandingkan dengan perhitungan
yang sederhana. Uang tunai lebih mudah dicuri daripada sediaan batu bara. Akun
yang terdiri dart jumlah yang berasal dart estimasi akuntansi cenderung
mengandung risiko lebih besar dibandingkan dengan akun yang sifatnya relatif
rutin dan berisi data berupa fakta. Faktor ekstern juga mempengaruhi risiko
bawaan.
(2) Risiko
Pengendalian, yakni Risiko pengendalian adalah risiko yang terjadinya
salah saji material dalam suatu asersi yang tidak dapat dicegah atau dideteksi
secara tepat waktu oleh pengendalian intern entitas. Risiko ini ditentukan oleh
evektifitas kebijakan dan prosedur pengendalian intern untuk mencapai tujuan
umum pengendalian intern yang relevan dengan audit atas laporan keuangan
entitas. Risiko pengendalian tertentu akan selalu ada karena keterbatasan
bawaan dalam setiap pengendalian intern. Sebagai contoh, pengendalian intern
mungkin menjadi tidak evektif karena kelalayan manusia akibat ceroboh atau
bosan atau karena adanya kolosi diantara personel pelaksanaan.
(3) Risiko Deteksi,
yakni Risiko yang disebabkan oleh kegagalan auditor dalam mendeteksi
salah saji material, setelah audit dilaksanakan sesuai dengan standar auditing.
Risiko ini timbul sebagian karena ketidakpastian yang ada pada waktu auditor
tidak memeriksa 100% saldo akun atau golongan transaksi, dan sebagian lagi
karena ketidakpastian lain yang ada, walaupun saldo akun atau golongan
transaksi tersebut diperiksa 100%. Ketidakpastian lain semacam itu timbul
karena auditor mungkin memilih suatu prosedur audit yang tidak sesuai,
menerapkan secara keliru prosedur yang semestinya, atau menafsirkan secara
keliru hasil audit. Ketidakpastian lain ini dapat dikurangi sampai pada tingkat
yang dapat diabaikan melalui perencanaan dan supervisi memadai dan pelaksanaan
praktik audit yang sesuai dengan standar pengendalian mutu.
H. Hubungan Antarunsur Risiko
Risiko
bawaan, risiko pengendalian, dan risiko deteksi. Kedua risiko yang disebut
terdahulu ada, terlepas dari dilakukan atau tidaknya audit atas laporan
keuangan, sedangkan risiko deteksi berhubungan dengan prosedur audit dan dapat
diubah oleh keputusan auditor itu sendiri. Risiko deteksi mempunyai hubungan
yang terbalik dengan risiko bawaan dan risiko pengendalian. Semakin kecil
risiko bawaan dan risiko pengendalian yang diyakini oleh auditor, semakin besar
risiko deteksi yang dapat diterima. Sebaliknya, semakin besar adanya risiko
bawaan dan risiko pengendalian yang diyakini auditor, semakin kecil tingkat
risiko deteksi yang dapat diterima.[26]
Komponen
risiko audit ini dapat ditentukan secara kuantitatif, seperti dalam bentuk
persentase atau secara nonkuantitatif yang berkisar, misalnya, dari minimum
sampai dengan maksimum. Resiko Deteksi adalah satu-satunya resiko yang bisa
dipengaruhi/diatur oleh auditor, lewat banyak atau sedikitnya bukti dengan
penambahan atau pengurangan prosedur audit . Apabila auditor ingin resiko
deteksi kecil, maka perlu lebih banyak bukti audit/prosedur audit, dan
sebaliknya.
I. Hubungan antara Materialitas, Risiko
Audit, dan Bukti Audit
Di muka telah diuraikan bahwa terdapat hubungan
berlawanan antara materialitas dan bukti audit. Jika materialitas rendah-jumlah salah saji yang kecil saja dapat mempengaruhi keputusan pemakai
informasi keuangan-auditor perlu mengumpulkan bukti audit
kompeten dalam jumlah banyak. Sebaliknya, jika materialitas tinggi-jumlah salah saji besar baru dapat mempengaruhi keputusan pemakai
informasi keuangan-auditor hannya perlu mengumpulkan bukti
audit komponen dalam jumlah sedikit. Demikian pula hubungan antara risiko audit
dengan bukti audit. Semakin rendah risiko audit-auditor bersedia untuk menanggung risiko
audit rendah sehingga tingkat kepastian yang diinginkan oleh auditor adalah
tinggi-auditor perlu mengumpulkan bukti audit kompenen dalam jumlah banyak.
Sebaliknya, semakin tinggi risiko audit-auditor bersedia untuk menanggung risiko
audit tinggi sehingga tingkat kepastian yang diinginkan oleh auditor adalah
rendah-auditor perlu mengumpulkan bukti audit kompenen dalam jumlah kecil saja.[27]
Berbagai kemungkinan hubungan antara materialitas,
bukti audit, dan risiko audit digambarkan sebagai berikut:[28]
a)
Jika auditor mempertahankan risiko audit
konstan dan tingkat materialitas dikurangi, auditor harus menambah jumlah bukti
audit yang dikumpulkan.
b)
Jika auditor mempertahankan tingkat
materialitas konstan dan mengurangi jumlah bukti audit yang dikumpulkan, risiko
audit menjadi meningkat.
c)
Jika auditor menginginkan untuk mengurangi
risiko audit.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Materialitas adalah besarnya
suatu penghapusan atau salah saji informasi keuangan yang, dengan
memperhitungkan situasinya, menyebabkan pertimbangan yang dilakukan oleh orang
yang mengandalkan pada informasi tersebut akan berubah atau terpengaruh
oleh penghapusan atau salah saji tersebut. Materialitas
merupakan satu di antara berbagai faktor yang mempengaruhi pertimbangan auditor
tentang kecukupan bukti audit.
Risiko audit adalah risiko yang
terjadi dalam hal auditor, tanpa disadari, tidak memodifikasi pendapatnya
sebagaimana mestinya, atas suatu laporan keuangan yang mengandung salah saji
material. Semakin pasti auditor dalam menyatakan pendapatnya, semakin rendah
risiko audit yang auditor bersedia untuk menanggungnya. Berbagai kemungkinan hubungan antara
materialitas, bukti audit, dan risiko audit,
yakni (1) Jika auditor mempertahankan risiko audit konstan dan tingkat
materialitas dikurangi, auditor harus menambah jumlah bukti audit yang
dikumpulkan. (2) Jika auditor mempertahankan tingkat
materialitas konstan dan mengurangi jumlah bukti audit yang dikumpulkan, risiko
audit menjadi meningkat. (3) Jika auditor menginginkan untuk mengurangi
risiko audit.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Mulyadi, Auditing, Jakarta, Salemba Empat, 2013.
Internet:
[1] http://fadjarika.blogspot.com/2012/01/materialitas-dan-risiko-audit.html, diakses jumat 18-10-2013 jam 17.50 WITA.
[2] Mulyadi, Auditing, (Jakarta: Salemba
Empat, 2013), h. 158
[3] Ibid.
[4] Ibid., h. 159
[5] Ibid.
[6] http://andikapuspitasari.wordpress.com/2012/01/04/materialitas-risiko-dan-strategi-audit-pendahuluan/, diakses Jum’at 18-10-2013 jam 17.50 WITA.
[7] Mulyadi, Auditing, op.cit., h. 159
[8] Ibid., h. 160
[9] Ibid., h. 161
[10] Ibid.
[12] Mulyadi, Auditing, op.cit., h. 162
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Ibid., h. 163
[16] Ibid., h. 163-164
[17] Ibid.
[18] Ibid.
[19] Ibid., h. 164-165
[20] Ibid., h. 165
[21] http://hyumindheade.blogspot.com/2012/05/materialitas-dan-resiko-audit.html,
diakses jum’at 18-10-2013 jam 17.30 WITA
[23] Ibid.
[24] Mulyadi, Auditing, op.cit., h. 166
[26] Ibid.
[27] Mulyadi, Auditing, op.cit., h.
171
[28] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar